Setelah kita berusaha menjadi komunitas harapan dan mewujudkan rekonsiliasi komunitas, saatnya kita menggerakkan komunitas kita untuk benar-benar memberi efek pemulihan di segala sektor hidup.
Kini ada tuntutan untuk mempersiapkan diri memasuki masa ke-Normal-an Baru (New Normal). Beberapa indikator kampung pemulihan yang didiskusikan beberapa hari ini adalah salah satu kondisi kenormalan baru yang perlu diwujudkan, tanpa harus berdalih wilayah zona merah atau hijau, sebab bila kelak kita harus membiasakan diri dengan virus corona, walau nanti kita divaksinasi, maka kondisi kenormalan baru itu harus berkembang dari sekedar perilaku ke karakter diri (gaya hidup).
Dalam situasi pandemik ada banyak pribadi dan keluarga melakukan beragam aktifitas sebagai usaha: (a) menjaga kesehatan diri dan keluarga; (b) menanggulangi efek sosial-ekonomi keluarga di masa pandemik; (c) meningkatkan kualitas spiritual sebagai suatu kemampuan untuk tidak sekedar bertahan melainkan berdaya-hidup di tengah pandemik ini.
Rupa-rupanya ketiga hal itu akan terus menjadi suatu rutinitas atau gaya hidup setiap keluarga di masa kenormalan baru. Pada saat itu, komunitas kita harus berusaha untuk tidak sekedar melihat pandemik melalui virus yang mampu menjangkiti siapa saja, tetapi meningkatkan ketahanan diri, keluarga dan komunitas untuk menghidupi situasi apa pun. Dan ini bukan sekedar tentang kesadaran kebencanaan (kontinjensi) tetapi kepekaan dan kematangan hidup dalam situasi bencana/pandemik.
Saya melihat perlunya mewujudkan Tri-Ketahanan hidup, yaitu:
Pertama, Ketahanan Kesehatan. Masa Kenormalan Baru sederhananya ialah kita bisa melakukan kembali semua hal yang pernah dilakukan. Berjumpa, berkumpul, bekerja, belajar, beribadah, bertamasya, tetapi dengan tetap jaga jarak, jaga kesehatan diri, dan memastikan kita tidak menyebar virus kepada orang lain atau tidak mudah terjangkiti virus dari orang lain. Bukan lalu berarti kita ke mana-mana harus membawa obat, tetapi sadar untuk memakai masker, mencuci tangan, dan sedapatnya menghindari kontak fisik secara langsung.
Kedua, Ketahanan Pangan. Ketersediaan pangan saat ini membuat kita tidak boleh membayangkan Gudang logistik Dolog atau perkebunan milik suatu korporasi besar. Kita harus melihat pada lahan milik keluarga, soa, marga, negeri yang terhampar luas dan subur, tetapi belum digarap, lalu bersama-sama menggarapnya. Kita harus melihat pada produk tanaman endemik, tanaman khas daerah yang sudah jelas sesuai dengan iklim maupun ph tanah itu. Kita sudah harus makan makanan milik negeri kita sendiri, dan menghidupkan kembali pola-pola kerja kekeluargaan yang minim biaya produksi tetapi bisa besar income. Kita sudah harus memikirkan sumber pangan lokal berkelanjutan, sebab itu mengatur masa menanam. Selain tanaman holtikoltura, meremajakan tanaman umur panjang sudah harus digalakan kembali. Sebab pangan lokal adalah simbol kedaulatan diri, keluarga, negeri secara ekonomi. Pangan lokal adalah simbol kedaulatan ekonomi daerah. Itu bagian dari identitas.
Ketiga, Ketahanan Spiritualitas. Saya menggunakan istilah ini dengan harapan kita tidak terjebak dalam debat terminologis seakan-akan istilah-istilah juga beragama. Ada tiga sifat spiritualitas yakni (a) bersifat fungsional ---dalam arti menjadi sumber motivasi untuk mendorong seseorang berkarya; (b) bersifat membangun ---dalam arti menjadi sumber etik untuk menumbuhkan rasa percaya diri (self-confidence) dalam rangka melaksanakan tugas/tanggungjawab tertentu; dan (c) bersifat empati (belarasa) ---dalam arti gelisah melihat orang lain terkapar di dalam penderitaan, kelemahan, apatisme, pesimisme, lalu mendorong mereka berprestasi, sebab hari ini harus lebih baik dari hari kemarin, dan hari esok harus lebih baik dari hari ini. Jadi bukan sekedar tentang ibadah ritual, tetapi memiliki daya juang untuk mengembangkan hidup dan masyarakat.
---
Penulis : Pdt. Elifas. Tomix. Maspaitella