Seharusnya pengalaman ini sudah saya bagikan pada 15 Januari 2021 yang lalu, saat saya bersama dengan Gubernur Maluku, Bapak Murad Ismail, Forkopimda dan rekan-rekan tokoh agama lainnya menjalani vaksinasi perdana di Provinsi Maluku pada Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Dr. J. Leimena, Rumahtiga. Namun, saya bermaksud memantau perkembangan pasca vaksinasi, untuk menguji hal-hal yang beredar antara realitas dan hoax. Satu hal yang pasti, setelah menerima vaksin, oleh vaksinator, kami dianjurkan beristirahat selama 30 menit di tempat guna memantau: apakah suhu tubuh naik (panas), demam, mual, atau nyeri di persendian atau tidak. Puji TUHAN, sebab 30 menit masa observasi itu tidak terasa keluhan tersebut, kecuali “tampa suntik saki” ~sebab memang aslinya saya takut disuntik.
MENGAPA SAYA MAU DIVAKSIN?
Saya Siap Divaksin. Itu tagline yang saya share di akun media sosial, ketika dihubungi oleh staf BNPB Maluku, Fretha Julian, biasa saya sapa Ian, pada Selasa, 12 Januari 2021. Ada alasan struktural dari kesediaan saya itu sebab saya melayani sebagai Sekretaris Umum MPH Sinode GPM, dan yang diminta terlibat dalam vaksinasi perdana adalah tokoh agama. Kedua, karena vaksin tersebut diperuntukkan bagi yang berusia 18-59 tahun, sebab itu di antara 9 MPH, saya masuk dalam kategori usia tersebut. Tetapi secara pribadi saya punya alasan pokok yaitu saya mau sehat agar saya bisa beraktifitas dalam kondisi baru dengan tidak terlampau cemas akan covid-19. Alasan teologisnya ialah, sejak 23 Maret 2021, di Gereja Protestan Maluku (GPM) kami bergumul agar Tuhan menunjukkan caraNya memulihkan bumi dan manusia dari pandemic. Bila vaksin adalah bagian dari cara dan kehendak Tuhan dalam kerangka pemulihan tadi, maka saya siap divaksin. Saya harus menjalaninya. Sebab itu, saya tidak berkeberatan dan langsung meresponi ajakan tersebut.
Pada hari yang ditentukan itu, Jumat, 15 Januari 2021, diantar Om Remon Kesaulya, kami tiba di RSUP Dr. J. Leimena, sebagai penerima vaksin yang pertama hadir. Cara tersebut (“pi tempo”) sebenarnya strategi personal saya untuk mencairkan ketegangan diri karena memang aslinya saya takut disuntik. Setiba di sana, ada staf RSUP dan Keprotokoleran Kantor Gubernur, Usi Fibra Bremer, dan beberapa rekan jurnalis yang memang saya kenal. Apalagi para security ternyata adalah “orang-orang Rumahtiga” warga jemaat GPM yang dulu saya layani semasa bertugas sebagai Pendeta di Rumahtiga (2008-2016). Kegugupan akibat “taku suntik” itu teratasi perlahan.
Semakin rasa gugup itu sirna karena kemudian saya menerima panggilan telepon dari kakak saya, Pdt. Riko Rikumahu, Ketua Klasis GPM Kota Ambon yang juga akan menerima vaksin perdana itu, dan Pdt. Dana Lohy-Norimarna, Sekretaris Klasis Kota Ambon. Kemudian tiba juga di situ Pdt. Buce Ayal dari Klasis Pulau Ambon Timur. Baru saya ketahui ternyata ada 5 (lima) pendeta GPM yang akan menerima vaksin, termasuk Pdt. Ampy Noya, yang kemudian karena masalah tekanan darah tidak bisa divaksin.
RASA BAGUMANA?
Ini pertanyaan yang muncul dari banyak orang setelah kami menerima vaksin. Di beberapa kesempatan berjumpa, itu yang ditanyakan. Melalui pesan WA, messenger, telepon dan sms, itu pun pertanyaannya.
Saya jawab simpel saja. Biasa-biasa saja. Saya merasa sehat. Gangguan yang dapat timbul 30 menit setelah divaksin tidak saya alami. Saya mencoba memantau kondisi saya sampai 2 hari pasca divaksin, dan saya dalam kondisi baik-baik saja, tidak ada keluhan sakit apa pun. Lebih lanjut saya belum bisa memastikan sebab saya akan menerima vaksin kedua pada 29 Januari 2021 nanti. Karena setiap penerima vaksin akan dua kali menerima vaksinasi. Jadi tunggu setelah vaksin kedua, maka saya akan ceritakan pula bagaimana kondisi tubuh saya setelah divaksin.
TAPI KAN ADA BANYAK INFORMASI BAHWA VAKSIN ITU REKAYASA IBLIS, KONSPIRASI POLITIK, DLL?
Sudah saya katakan di awal, saya menjalani vaksinasi juga karena dorongan teologis. Dahulu saya membaca Alkitab, di saat-saat hendak menyusun Skripsi S1. Saya berencana menulis Skripsi yang berjudul: “Mengapa Yesus Harus Disingkirkan: Tafsir Atas Injil Sinoptik”. Satu dan lain hal, rancangan judul itu ditolak dalam rapat dosen, dan saya harus banting setir ke Bidang Etika Kristen. Dalam perenungan rencana skripsi tadi, saya tiba pada pertanyaan apakah penyaliban Yesus itu sebuah desain Yahudi atau kehendak Tuhan? Referensi tentang teodisi menjadi tema teologi yang coba saya baca dan renungkan terus, sampai saya tiba pada keyakinan, di balik apa pun yang manusia rencanakan, Tuhan memiliki tujuan yang lebih besar untuk menyelamatkan umatNya, walau untuk itu IA harus mengurbankan diriNya sendiri.
Konspirasi politik sudah menjadi salah satu trend di dunia, dan berdampak di dunia kesehatan dan farmasi juga. Persaingan dan perebutan pasar obat-obatan dan alat kesehatan membuat dunia kesehatan malah tidak luput dari konspirasi politik. Bila itu ditambahkan dengan hegemoni Timur-Barat, Eropa-Asia, dan lain sebagainya, maka kita tidak akan pernah berobat ke dokter atau tidak akan pernah mengasup vitamin dan obat lainnya. Dunia kesehatan pun telah menjadi ajang pamer produk dan bila anda suka akan produk A, anda akan disuguhi informasi tentang kelemahan produk B. Jangan sampai seperti itu, bahkan herbal yang dimasak dari daun-daun di halaman rumah saja tidak luput dari konspirasi tentang khasiatnya.
Yang pasti, Covid-19 ada, dan kita harus melawan penyebaran/penularannya. Vaksinasi adalah salah satu cara untuk itu. Jadi jangan takut divaksin, sebab vaksin CoronaVac dan kelak akan juga ada vaksin Merah-Putih itu aman untuk kesehatan kita, sebab pasti telah melewati tahapan uji klinis yang ketat.
Jangan Takut Divaksin!
Vaksin Aman.
Vaksin Halal.
Indonesia Maju