[caption id="attachment_117" align="alignleft" width="356"] Foto Pdt.Max Syauta[/caption]
Evaluasi penyelenggaraan pelayanan gereja di aras Klasis secara teknis, untuk mengetahui tingkat pelaksanaan program dan penyerapan anggaran selama semester I tahun 2013, mengidentifikasi permasalahan yang dihadapi dan upaya mengatasinya, serta penyampaian perspektif pelayanan Majelis Pekerja Klasis memasuki semester II, merupakan agenda tengah tahun yang penting.
Untuk maksud itu, bertempat di aula Kantor Klasis GPM Tanimbar Selatan, telah berlangsung Rapat Teknis tingkat Klasis yang diikuti oleh 45 orang peserta, terdiri dari Majelis Pekerja Klasis dan Staf, serta Pendeta se-Klasis GPM Tanimbar Selatan. Acara yang berlangsung selama 3 (tiga) hari, sejak tanggal 13 – 15 Agustus 2013 itu, diisi dengan :
Hari I, penyampaian laporan pelaksanaan program, realisasi keuangan selama semester I dan masalah-masalah yang ditemui, serta pembahasannya. Rapat juga mempercakapkan program bersama di tingkat klasis dalam upaya peningkatan kapasitas umat dan pelayan dalam bentuk pikiran rekomendatif untuk dibawa ke Sidang Klasis, 9 – 11 Maret 2014 di Jemaat GPM Seira.
[caption id="attachment_116" align="alignleft" width="221"] Foto Pdt.Max Syauta[/caption]
Hari II, diskusi terbuka dengan Bupati Maluku Tenggara Barat, Drs. Bito Temmar. Dalam pengantar diskusi yang bertemakan: “Kerja yang mengindahkan bumi sebagai kesaksian iman”, Bupati menggambarkan sejumlah capaian pembangunan fisik yang telah kelihatan hasilnya, dan upaya penataan birokrasi di negeri yang bertajuk Duan Lolat ini. Namun menurut beliau, capai-capaian pembangunan itu tidak disertai dengan proses adaptasi dan perubahan mindset manusia Tanimbar. Contoh konkritnya adalah dalam hal kerja. Dalam amatan Bupati, masyarakat Tanimbar (termasuk warga GPM) dewasa ini, telah menganggap kerja sebagai “beban” semata-mata. Bahkan kerja sekedar dipahami sebagai alat untuk memperoleh upah. Dan pemahaman seperti itu sudah merasuk jauh sampai ke dalam gereja. Para Pelayan di gereja tidak lagi melayani karena panggilan Allah, tetapi untuk upah tertentu. Kita, tidak lebih dari “orang-orang upahan”, kata Bupati. Dengan lantang Bupati mengatakan kebanggaannya sebagai warga GPM, karena sikap kemandirian GPM sebagai institusi, umat maupun pelayan sejak gereja ini berdiri sendiri tahun 1935. Namun kini, beliau menyaksikan perubahan destruktif yang besar telah merasuk ke dalam gereja, yakni hilangnya semangat volunter, atau jiwa sukarela dari para Pelayan. Dimana-mana, para Pelayan telah menjadi orang-orang upahan, dengan “meminta” sejumlah insentif atas hasil kerjanya. Seharusnya gereja memberi pemahaman dan segera menghentikan proses yang mematikan semangat volunter ini, bukan malah memeliharanya dengan subur. Bisa dibayangkan, jika insentif dalam jumlah besar itu dialihkan kepada belanja lain, seperti pemberdayaan umat atau dana diakonia, misalnya, maka gereja memiliki cukup kekuatan untuk melakukan banyak hal. Beliau kemudian mempertanyakan: “Jika sekarang kita sudah meminta upah kita, maka upah apa lagi yang akan kita terima kelak”? Sambil menyitir Johanis Calvin, dalam bukunya Institutio, beliau mengatakan: “Tuhan telah menetapkan tugas untuk masing-masing orang menurut jalan hidupnya, dan jalan hidup itu disebut panggilan”. Bupati kemudian mempertanyakan: “Apakah gereja atau para Pelayan gereja alpa memberi makna teologis kepada umat tentang kerja”? “Apa definisi kerja menurut GPM”? “Apa itu kemiskinan menurut perspektif GPM”, sebagai akibat dari warganya yang tidak bekerja?
Terhadap tema diskusi tersebut, peserta rapat yang diberi kesempatan untuk menyampaikan pikiran/pendapat membenarkan bahwa telah terjadi perubahan besar dalam sikap manusia tentang kerja. Kerja, dalam perspektif teologis dipahami sebagai panggilan sekaligus hakekat diri manusia, telah diturunkan derajatnya menjadi “beban”. Kerja, dalam hal tertentu bahkan dihindari dan dianggap sebagai residu atau ampas dari produk kekristenan. Dan secara spiritual, gereja menjadi salah satu pihak yang bertanggung jawab mengembalikan makna kerja ke posisinya yang sejati.
Peserta rapat juga mempersoalkan sejumlah hal. Mulai dari alam yang memanjakan, kurangnya akses modal, ketrampilan, transportasi, pemasaran, dll. Termasuk teks-teks alkitab yang secara teologis disalah-pahami oleh umat. Peserta rapat juga mengkritisi bantuan-bantuan Pemda dalam rangka pemberdayaan masyarakat, namun sasaran dan hasilnya tidak sesuai dengan tujuan yang diharapkan. Terhadap hal seperti ini, seharusnya ada sanksi dari Pemda terhadap aparatur yang tidak peka terhadap problematika masyarakat/umat, dengan menyalahgunakan bantuan-bantuan pemberdayaan.
Atau mengutamakan bantuan-bantuan itu kepada keluarga sendiri atau kepada kelompok-kelompok sekampung. Peserta rapat juga mempersoalkan rendahnya tanggung jawab profesi dan kinerja para guru, petugas kesehatan, dan aparatur publik lainnya. Juga sarana publik, baik gedung-gedung sekolah, termasuk beberapa ruas jalan yang oleh masyarakat diberi nama “lumpur Lapindo”.
Bupati, saat menjawab masukan dan persoalan-persoalan yang diajukan, berpendapat bahwa pada hakekatnya kerja itu harus dimulai dari keluarga (dari rumah). Jika di dalam keluarga-keluarga GPM, kerja tidak dipolakan sebagai hakekat dan panggilan kristiani, maka sesungguhnya keluarga adalah akar dari seluruh persoalan di MTB, di Maluku, juga di GPM. Bupati juga mengkritisi GPM sebagai salah satu gereja reformasi terbesar di Indonesia, yang sampai hari ini tidak memiliki semacam “teologi keluarga” versi GPM. Termasuk materi-materi binaan yang diterbitkan oleh LPJ GPM, yang dalam hal tertentu menggunakan “kaca mata kuda”, dan memasung kreatifitas para Pendeta untuk berteologi secara kontekstual. Bupati juga mengkritisi pola-pola pembinaan dan penerusan nilai dalam keluarga-keluarga di MTB, yang cenderung “mendongengkan” kebencian kepada anak-anak, daripada “mendongengkan” tokoh-tokoh besar dalam sejarah dunia/gereja, sekaligus membangkitkan motivasi dan menginspirasi anak-anak untuk maju. Pada akhirnya, Bupati menyarankan agar diskusi dengan tema-tema seperti ini, baik tema teologis, etis maupun sosial hendaknya menjadi agenda tetap untuk waktu-waktu yang akan datang, untuk selanjutnya menjadi materi pembinaan umat.
Hari III, diisi dengan pelatihan aplikasi sistem database oleh Pdt. H.R. Tupan, M.Th., penyerahan tugas Sekretaris Klasis, dari Pdt. Ny. L. Rangkoratat/B, S.Th., yang selanjutnya menjabat sebagai Ketua Klasis GPM Pp. Babar Timur, kepada Ketua Klasis (untuk sementara waktu). Diakhiri dengan doa atau pergumulan bersama.
(Pdt. Max Syauta) Ketua Klasis Tanimbar Selatan