Seram Utara, sinodegpm.org - Hadirnya sejumlah orang di suatu wilayah tertentu karena alasan ketimpangan penduduk dan ekonomi melalui program transmigrasi (nasional dan lokal), atau kebijakan relokasi untuk mendekatkan aksesibilitas publik melalui program Komunitas Adat Terpencil (KAT) dan “pengerahan” tenaga kerja untuk mendorong faktor produksi oleh perusahaan yang bergerak di perkebunan kelapa sawit berskala nasional/lokal, selalu berimplikasi kepada persoalan lain yang tidak dapat disepelekan. Persoalan-persoalan itu berkaitan dengan aspek sosial, budaya, spiritual (peribadatan), pendidikan, kesehatan, dll.
Lahirnya sejumlah satuan pemukiman (SP) di wilayah Seram Utara yang dilatari program transmigrasi atau kebijakan relokasi (KAT dan tenaga kerja di perkebunan kelapa sawit) tidak lepas dari persoalan-persoalan di atas. Dari laman website Kementerian Pedesaan dan Daerah Tertinggal RI, di Kabupaten Maluku Tengah sejak tahun 2011 – 2017 telah terbentuk sekitar 39 satuan pemukiman (SP) atau satuan pemukiman transmigrasi (SPT) yang dibentuk oleh pemerintah (Lokasi Transmigrasi UPT Bina; datin.kemendesa.go.id, diakses tanggal 25 Juli 2019). Tidak termasuk satuan pemukiman (SP) yang dibentuk oleh pihak swasta (perusahaan, dll) untuk pemusatan tempat tinggal tenaga kerjanya.
Dari 39 satuan pemukiman itu (selanjutnya disingkat SP), ada 12 SP yang oleh Majelis Pekerja Klasis GPM Seram Utara telah ditatalayani dan “diperlakukan” sebagai “jemaat”, antara lain karena pertimbangan jumlah anggotanya dan ketersediaan sarana peribadatan. Keberadaan Majelis Jemaat (Penatua dan Diaken) serta kehadiran Pendeta pada beberapa SP menandai praktek berjemaat disitu.
Alasan-alasan itu menjadi faktor pendorong bagi Majelis Pekerja Klasis GPM Seram Utara untuk memproses 5 dari SP tersebut untuk dilembagakan menjadi jemaat definitif dan mandiri. Usulan tersebut diterima sebagai bagian dari Keputusan Sidang Ke-40 MPL Sinode GPM di Saumlaki tahun 2018. Selanjutnya Majelis Pekerja Harian Sinode GPM menerbitkan Surat Keputusan tentang Pelembagaan Jemaat. Walaupun baru dilembagakan, tetapi 5 jemaat baru tersebut telah tercatat dalam bilangan jemaat-jemaat se-Klasis GPM Seram Utara, yang karenanya memiliki hak dan kewajiban sebagaimana layaknya jemaat definitif.
Atas dasar tersebut di atas, pada tanggal 23 Juli 2019, bertempat di SP Siliha, telah berlangsung akta ibadah Pelembagaan Jemaat terhadap 5 jemaat baru di Klasis GPM Seram Utara ke dalam bilangan jemaat-jemaat di wilayah pelayanan Gereja Protestan Maluku, oleh Ketua MPH Sinode GPM, Pdt. A.J.S. Werinussa. Gambaran singkat kelima jemaat baru itu, berdasarkan penuturan Pdt. Jondry Paays (mantan Sekretaris Klasis GPM Seram Utara) dan data setiap jemaat yang disampaikan melalui layanan pesan singkat (sms) oleh Pdt. Ny. Ellen Titing, sebagai berikut :
1. Jemaat GPM Iloana. Dilembagakan sebagai jemaat devinitif dan mandiri berdasarkan Surat Keputusan MPH Sinode GPM No. 26/SKEP/SND/D.14/7/2019, tanggal 18 Juli 2019. Iloana awalnya merupakan satuan pemukiman transmigran lokal yang berasal dari Seti. Jemaat GPM Iloana terdiri dari 37 KK dan 165 jiwa, tersebar dalam 1 Sektor Pelayanan dengan 2 Unit Pelayanan, dan dilayani oleh 2 orang Penatua, 2 orang Diaken, dipimpin oleh Pdt. R. Leleury, S.Si. Teol.
2. Jemaat GPM Siliha. Dilembagakan sebagai jemaat devinitif dan mandiri berdasarkan Surat Keputusan MPH Sinode GPM No. 27/SKEP/SND/D.14/7/2019, tanggal 18 Juli 2019. Siliha awalnya merupakan satuan pemukiman yang terbentuk sebagai akibat dari “relokasi” untuk menampung pekerja perkebunan kelapa sawit PT. Nusa Ina Group. Warga Siliha adalah campuran antara “pendatang” yang berasal dari Maneo, Ambon, Kepulauan Tanimbar, Maluku Barat Daya dan Sumatera Utara. Jemaat GPM Siliha terdiri dari 100 KK dan 307 jiwa, tersebar dalam 1 Sektor Pelayanan dengan 2 Unit Pelayanan; dilayani oleh 4 orang Penatua, 4 orang Diaken, dipimpin oleh Pdt. F.O. Lissay, A.Md.
3. Jemaat GPM Waimusi. Dilembagakan sebagai jemaat devinitif dan mandiri berdasarkan Surat Keputusan MPH Sinode GPM No. 28/SKEP/SND/D.14/7/2019, tanggal 18 Juli 2019. Waimusi awalnya merupakan satuan pemukiman yang terbentuk sebagai akibat dari “relokasi” untuk menampung pekerja perkebunan kelapa sawit PT. Nusa Ina Group. Warga Waimusi adalah campuran antara “pendatang” yang berasal dari Maneo, Pp. Lease, Maluku Tenggara dan Sumatera Utara. Jemaat GPM Waimusi terdiri dari 54 KK dan 220 jiwa, tersebar dalam 1 Sektor Pelayanan dengan 3 Unit Pelayanan; dilayani oleh 2 orang Penatua, 2 orang Diaken, dipimpin oleh Pdt. Nn. O.R. Sekewael, S.Si.
4. Jemaat GPM Siahari. Dilembagakan sebagai jemaat devinitif dan mandiri berdasarkan Surat Keputusan MPH Sinode GPM No. 29/SKEP/SND/D.14/7/2019, tanggal 18 Juli 2019. Siahari awalnya merupakan satuan pemukiman yang terbentuk sebagai akibat dari kebijakan pemerintah untuk “merelokasi” warga Maneo (Rendah) yang termasuk suku Mausu Ane ke arah pesisir melalui program Komunitas Adat Terpencil (KAT). Apakah suku Mausu Ane yang “direlokasi” ke Maneo (Rendah) ini termasuk “satu keluarga” dengan suku Mausu Ane yang diberitakan pernah mengalami “kelaparan” di hutan? Jika ya, maka rupanya, sebelum adanya hiruk pikuk tentang rencana relokasi suku Mausu Ane di hutan pulau Seram bagian Utara, Kabupaten Maluku Tengah, pada bulan Juli 2018 (baca: https://kumparan.com/ambonnesia/ancaman-relokasi-suku-mausuane-di-hutan-pulau-seram-maluku-tengah-, diakses tanggal 26 Juli 2019), telah ada proses “relokasi” terhadap suku Mausu Ane ke desa Maneo (Rendah) dalam jumlah tertentu sebelum kasus tersebut diberitakan. Secara sosiologis, Komunitas Adat Terpencil (KAT) dianggap merupakan lapisan yang paling bawah dari struktur dan perkembangan masyarakat. Alasan utama “relokasi” dalam perspektif KAT, suku Mausu Ane di Maneo (dan suku lainnya yang terafiliasi dalam program KAT) dianggap menghadapi berbagai ketertinggalan dalam pemenuhan kebutuhan hidup yang paling dasar karena secara geografis sulit dijangkau dan secara sosial termasuk dalam budaya “suku terasing”. Interaksi dengan masyarakat luar yang lebih maju tidak terjalin baik. Secara umum, pemerintah menganggap permasalahan yang dihadapi oleh Komunitas Adat Terpencil adalah kurangnya aksesibilitas terhadap fasilitas publik yang memungkinkan mereka untuk melakukan transformasi.
Pertanyaannya, setelah “direlokasi”, adakah kemajuan yang dicapai Suku Mausu Ane di Maneo (Rendah) atau di Siahari, baik di bidang pendidikan, kesehatan, sosial, budaya, dan ekonomi, termasuk aksesibilitas publik lainnya sebagaimana tujuan program KAT dimaksud? Perlu ada survei untuk menjawabnya. Apapun jawabannya, secara teologis pelembagaan Jemaat GPM Siahari ini menjadi tantangan khusus bagi Gereja Protestan Maluku di Klasis GPM Seram Utara untuk menjawab panggilan-Nya, yakni memanusiakan manusia di Siahari menjadi orang-orang yang bermartabat, tanpa kehilangan jati diri dan lingkungan hidup mereka.
Secara statistik, Jemaat GPM Siahari terdiri dari 52 KK dan 249 jiwa, tersebar di 2 Sektor Pelayanan dan 3 Unit Pelayanan. Dilayani oleh 4 orang Penatua dan 4 orang Diaken, dipimpin oleh Pdt. Diana F. Seipattiseun, S.Si.
5. Jemaat GPM (Roho) Air Merah. Dilembagakan sebagai jemaat devinitif dan mandiri berdasarkan Surat Keputusan MPH Sinode GPM No. 30/SKEP/SND/D.14/7/2019, tanggal 18 Juli 2019. Roho Air Merah awalnya merupakan satuan pemukiman transmigrasi lokal yang 95% berasal dari Roho. Sisanya sebesar 5% berasal dari Pp. Lease dan Maluku Tenggara. Jemaat GPM (Roho) Air Merah terdiri dari 30 KK dan 175 jiwa, tersebar dalam 1 Sektor Pelayanan dengan 2 Unit Pelayanan; dilayani oleh 2 orang Penatua, 2 orang Diaken, dipimpin oleh Pdt. Zeth S. Rumahlewang, S.Si.
Pdt. A.J.S. Werinussa dalam khotbahnya pada ibadah pelembagaan itu, yang diambil dari 1 Korintus 3 : 6 – 8 mengajak umat dan para pelayan di ke-5 jemaat yang baru dilembagakan untuk bersyukur, bahwa proses ini bisa terjadi hanya karena kasih karunia Allah. Pdt. A.J.S. Werinussa juga mengajak umat dan para pelayan untuk memahami dengan sungguh arti menanam dan menyiram (sebagai moto GPM). Bahwa menanam dan menyiram adalah adalah jati diri sekaligus perilaku Gereja Protestan Maluku. Sepintar-pintarnya kita, kerja kita “hanyalah” menanam dan menyiram. Generasi boleh datang dan pergi silih berganti, tetapi pekerjaan kita sebagai penanam dan penyiram tidak pernah berubah. Pelembagaan jemaat adalah salah satu akibat konstruktif dari proses menanam dan menyiram lintas generasi itu. Hubungan antara menanam dan menyiram dengan pertumbuhan oleh kasih karunia Allah membutuhkan manajemen (pengorganisasian) yang baik. Karena itu, jika kita mampu mengorganisir pekerjaan menanam dan menyiram itu dengan sungguh-sungguh, maka mata kita akan melihat Allah berkarya dengan menumbuhkan pekerjaan kita.
Pada sisi lain, lanjut Pdt. A.J.S. Werinussa, para pelayan adalah telinga dan mata Tuhan untuk mendengar keluhan umat dan melihat setiap persoalan yang dihadapi umat. Karena itu para pelayan harus peka untuk mendengar dan melihat persoalan hidup umat. Melalui pelembagaan jemaat ini, telinga dan mata Tuhan dibawa makin dekat dengan umat. Para pelayan harus responsif terhadap setiap bentuk persoalan yang dihadapi oleh umat, baik di jemaat-jemaat yang baru dilembagakan, lebih-lebih terhadap warga/suku terpencil yang selama ini distigmakan sebagai orang-orang yang “tertinggal”, dan dicabut dari akar budaya dan lingkungan mereka atas nama pembangunan atau transformasi. Dalam konteks jemaat perdesaan seperti di Seram Utara ini, kantor jemaat yang sesungguhnya ada di kebun-kebun umat; di arena pergumulan hidup umat sehari-hari. Termasuk kasus-kasus pertanahan yang memojokan dan menyingkirkan masyarakat adat setempat dari hak ulayat mereka.
Ibadah pelembagaan 5 jemaat baru tersebut dihadiri oleh Majelis Pekerja Klasis GPM Seram Utara dan para pelayan dari 5 jemaat yang dlembagakan, bersama umat di Jemaat GPM Siliha, karena lokasi antar jemaat yang relatif berjauhan (dari Jemaat GPM Siliha). Hadir juga Kepala Bagian Keuangan Sinode GPM, Bendahara Sinode GPM, Ketua Klasis Taniwel dan undangan lainnya. Usai ibadah pelembagaan, dilanjutkan dengan makan bersama.
Kita berdoa, semoga kelima jemaat yang baru dilembagakan ini dapat menjadi “batu karang” yang berdiri teguh sepanjang zaman; giat bersekutu, bersaksi, melayani dan sambil mengupayakan kesejahteraan hidup, menghadapi perbagai persoalan dan tekanan yang kian deras karena perubahan yang tak dapat lagi dibendung. Soli Deo Glori.
----------------
Penulis : Pdt. Max. Syauta - Bendahara Sinode GPM