[Ambon, sinodegpm.org] - Sebuah catatan tentang perjalanan pelayanan Ketua Sinode GPM Menuju Klasis Telutih.
Ada yang berbeda dari biasanya. Perayaan Paskah tingkat Sinode GPM tahun 2017 “dipusatkan” di Jemaat GPM Uraur, Klasis Kairatu. Perayaan ini melibatkan sejumlah jemaat di Klasis Kairatu. Akankah perayaan natal nanti mengikuti pola yang sama dan beranjak ke klasis lain (diluar Klasis Kota dan Pulau Ambon) ?
Kunjungan Ketua Sinode GPM Ke Telutih
Beberapa hari sebelumnya, Ketua MPH Sinode GPM, Pdt. A.J.S. Werinussa berkunjung ke Klasis GPM Telutih 13-16 April 2017. Klasis GPM Telutih terdiri dari 20 jemaat. 14 jemaat masuk ke dalam wilayah pemerintahan Kab. Maluku Tengah. Sedangkan 6 jemaat masuk ke dalam wilayah pemerintahan Kab. SBT. Bolehkah perayaan Paskah di Klasis Kairatu maupun perkunjungan ke Klasis Telutih disebut sebagai “safari” Paskah? Tergantung “bungkusan” dan “isinya”. Bersama umat dan pelayan di Jemaat GPM Lafa, Ketua Sinode GPM mengambil bagian dalam ibadah Perjamuan Kudus (Jumat Agung).
Setelah ibadah Perjamuan Kudus, rombongan Ketua Sinode GPM, berkesempatan mengunjungi umat dan para pelayan di sejumlah jemaat. Dimulai dari Jemaat GPM Maneoratu dan berakhir di Jemaat GPM Ahinulin Naiwel. Sebagian besar dari Pendeta yang bertugas di Klasis Telutih adalah perempuan, setiap perjumpaan selalu diakhiri dengan Doa bersama.
Perjumpaan yang berlangsung melahirkan dialog, maka terungkap sejumlah masalah yang dialami oleh keluarga para Pendeta. Masalah-masalah yang diceritakan sesungguhnya bukan masalah baru. Misalnya para Pendeta yang terpisah dengan keluarganya (ada suami Pendeta yang berdomisili di Ambon; ada suami dan anak-anak Pendeta yang berdomisili di Ambon; ada juga anak-anak dari kedua orang tua Pendeta yang berdomisili di Ambon). Pilihan tempat domisili ini berkaitan dengan pekerjaan suami dan pendidikan anak-anak. Apakah keterpisahan keluarga ini berakibat kepada pola pelayanan 6 – 1; 5 – 2; 4 – 3; dan lain-lain? sejauh ini pola tersebut belum menjadi “trend” di Klasis Telutih. Semoga ke depanpun demikian.
Ada juga Pendeta yang sudah sekian tahun berumahtangga tetapi belum dikaruniai anak. Ada Pendeta yang anaknya (balita) sering sakit dan ia hanya mau dekat dengan ibunya setiap waktu. Sementara nyaris sebagian waktu ibunya “disita” oleh umat melalui pelayanannya.
Penyatuan Rumah Tangga
Pendeta adalah manusia, dan karena itu mereka juga punya masalah. Penyatuan keluarga adalah persoalan bergereja di GPM turun-temurun. Secara institusi, ada masalah yang bisa “direkayasa” gereja, seperti penyatuan keluarga, misalnya. Tetapi tidak semudah membalik telapak tangan. Butuh waktu untuk mengatasinya. Tetapi yang lebih penting, butuh spiritualitas pengosongan diri dari para Pendeta bersama keluarga untuk menjalani dan memaknainya sebagai seorang “suruhan Allah”.
Alam
Masalah lain yang mengemuka adalah faktor alam. Ada cukup banyak sungai yang membentang di wilayah pelayanan Klasis GPM Telutih. Ironisnya, pada sebagian besar sungai itu belum dibangun jembatan. Malah ada 2 sungai yang menggunakan jembatan darurat yang dibangun oleh masyarakat setempat menggunakan material kayu. Sekali melewati jembatan dipungut biaya, Rp. 50.000 untuk mobil dan Rp. 25.000 untuk sepeda motor.
Sungai-sungai besar yang belum terhubung oleh jembatan berada di kedua wilayah pemerintahan (Kab. Maluku Tengah dan Seram Bagian Timur). Hujan dengan durasi sekitar 1 jam saja pada hulu sungai (gunung), dipastikan segera meluap dan terjadilah banjir. Luapan sungai membuat daya gerus air meluas. Jika demikian, akses dari jemaat-jemaat tersebut terputus total. Seberapa lama banjir itu berlangsung, selama itu pula akses dari jemaat-jemaat itu terputus.
Sarana Transportasi
Sarana transportasi menjadi masalah lain yang pelik. Mobil angkutan umum dari Masohi atau Amahai hanya sampai di Tehoru. Selanjutnya menggunakan ojek motor. Mobil yang dibutuhkan tidak tersedia setiap saat. Jika tidak ada angkutan umum, atau keperluan mendesak, terpaksa menggunakan mobil carteran (sejenis Avanza, Rush). Jika tidak ada kendaraan (motor atau mobil) pribadi, maka biaya yang dikeluarkan cukup besar.
Tidak heran, biaya transportasi dari Telutih begitu tinggi. Akibatnya jemaat-jemaat yang kaya potensi tersebut mengalami kesulitan untuk memasarkan hasil-hasil kebun dan hutannya, seperti cengkih, coklat, pala, kopra dan durian. Karena persoalan akses serta sarana transportasi, maka hasil hutan berupa durianyang sekarang telah memasuki masa panen dihargai sangat rendah, antara 4-10 buah dibeli dengan nilai Rp 10.000, tergantung besar kecilnya buah durian.
Banjir tidak saja memutuskan akses transportasi (barang dan manusia). Banjir pula yang membuat Jemaat GPM Ulahahan, Jemaat Dihil dan Jemaat Sabuai ditetapkan sebagai daerah rawan dan masuk dalam skenario siaga bencana, setiap banjir datang melanda.
Pengasuh dan Paskah
Selain masalah, di beberapa jemaat, romongan Ketua Sinode GPM menjumpai kesibukan para pengasuh dan orang tua mempersiapkan tenda bagi anak-anak SMTPI menyambut dan merayakan Paskah. Halaman gedung gereja yang cukup luas dipakai sebagai lokasi berkemah.
[gallery ids="3951,3946,3948,3942,3941,3940"]
Di Jemaat GPM Laha, tenda-tenda dibangun begitu rapi, nyaman dan menarik, karena menjadi bagian dari unsur lomba antar unit pelayanan. Ada ruang tamu, ada ruang tidur dan ada ruang makan. Lantai tenda beralas papan. Kemudian dibuka karpet atau tikar atau kasur busa atau spons sebagai tempat tidur. Begitu nyamannya tenda-tenda itu sehingga Ketua Sinode GPM sempat berujar: “hanya orang yang pernah mengalami dan merasakan tinggal di tenda, bisa membuat tenda yang nyaman seperti itu”.
Menuju Jemaat Piliana
Sabtu pagi, beranjak ke Jemaat GPM Piliana. Piliana, merupakan satu-satunya jemaat di pegunungan, dan dijuluki “negeri di atas awan”. Julukan ini bukan isapan jempol. Pada waktu tertentu di siang hari, awan menutupi negeri piliana, membuat jarak pandang sangat terbatas.
Di negeri Piliana, kita masih menjumpai warga beragama Suku, yang hidup membaur bersama pemeluk agama Kristen. Tak ada klaim “kafir” dan “agamais” disana. Mereka secara bertahap “baru” diajak mengenal Yesus. Tidak berlebihan jika nama Piliana dipakai sebagai nama jemaat atau kampung. Piliana sendiri berasal dari suku kata “Pilianeka” (dari bahasa Soupa atau bahasa ‘gunung’), yang berarti “sudah terang”. Dari pengertian itu, apakah kelompok-kelompok pemukim yang masih memeluk agama suku tergolong orang yang “masih gelap”? Diperlukan kajian sosiologis-antropologis atau etnografis yang mendalam.
Wilayah Pelayanan Klasis Telutih
Secara umum, di wilayah pelayanan Klasis Telutih terdapat sejumlah kelompok pemukim yang masih beragama suku. Di belakang Piliana (arah ke gunung), ada pemukiman Soalihu yang masih kental memeluk agama suku. Mereka sangat sulit didekati, apalagi dijumpai. Kecuali ada pemberitahuan terlebih dahulu. Keenganan mereka untuk didekati dan dijumpai, mungkin karena penyakit kusta atau lepra yang mereka derita.
Dari beberapa tuturan orang tua, Pdt. Jan W. Hehakaya, S.Th adalah sosok yang mencoba membuka keterisolasian kelompok manusia di piliana. Ia dianggap cukup berhasil mengobati beberapa orang yang sakit kusta. dan mengajak mereka tinggal bersama di Piliana. Kini, diperlukan pendekatan baru untuk “membawa terang” kepada pemukim Soalihu. Bukan pendekatan “kristenisasi” yang bertujuan “membawa mereka turun”, untuk memisahkan dan mencabut mereka dari akar peradaban dan ekologi yang telah melekat pada diri mereka. Tetapi pendekatan yang membebaskan mereka dari rasa sakit atau penyakit, sekaligus menghilangkan stigma-stigma yang terlanjur melekat.
Pendekatan demikian sungguh penting. Sebab selain di Piliana, masih dijumpai juga kelompok-kelompok pemukim lain yang masih menganut agama suku di wilayah pelayanan Klasis Telutih. Di belakang Jemaat Hatumete ada pemukiman Sinahari dan Losa. Di kedua pemukiman ini, sebagian dari antara mereka sudah dibaptis. Persoalannya, setelah dibaptis, bagaimana hidup dan masa depan mereka selanjutnya? Sudah cukupkah jika mereka dibaptis?
Di belakang Jemaat Elnusa ada pemukiman Kamu-kamu. Di belakang Jemaat Ulahahan ada pemukiman Sikhelem, yang semuanya sudah dibaptis. Di belakang negeri Telutih Baru (muslim), ada pemukiman Waemalatan.
Cukup banyaknya kelompok pemukim agama suku di Klasis Telutih menjadi catatan penting bagi tugas-tugas Departemen Pemberitaan Injil dan Pelayanan Kasih ke depan. Kepada kelompok-kelompok rentan seperti ini, afirmasi kebijakan seperti apakah yang gereja harus lakukan?
Destinasi Wisata
Selain kelompok agama suku, di Piliana juga ada air Ninivala, salah satu destinasi wisata alam yang mulai “kesohor” akhir-akhir ini. Kata Ninivala sendiri berarti: membersihkan atau menyucikan. Dari sisi pengertian, apa hubungan atau benang merah antara Piliana dengan Ninivala, tidak ingin menduga-duga. Apakah berkaitan dengan spirit pemuridan? Sebelum seseorang “mengalami terang”, ia harus membersihkan diri di Ninivala sebagai simbol peralihan?
Terbukanya akses jalan ke Piliana yang dirintis oleh Pdt.Jan. Hehakaya, sekaligus membuka “tabir” adanya mahakarya Allah di Ninivala. Banyak orang mulai berdatangan ke Ninivala. Ada yang sekedar berekreasi, sambil mengagumi ciptaan Tuhan yang indah. Ada yang mencari kesegaran fisik dan jiwa, memulihkan tubuh, saat menyelam di Ninivala yang sejuk dan dingin. Tetapi ada pula yang datang dengan tujuan untuk “mencari jodoh”. Ninivala lambat laun menjadi “situs” jodoh? Semoga tidak.
Peran AMGPM dan Warga Masyarakat
Agar Ninivala makin dikenal dan dikunjungi, dibutuhkan fasilitas penunjang yang memadai, dan dikelola dengan baik. Kamar mandi (KM) dan WC adalah fasilitas yang penting. Biaya masuk atau semacam retribusi ke lokasi Ninivala sudah harus dipikirkan. Dengan begitu desa (atau jemaat melalui AMGPM) sebagai pengelola memiliki modal untuk menyediakan sarana pendukung yang dibutuhkan, termasuk pemeliharaannya.
Warga Piliana juga harus dilatih untuk menyediakan warung-warung kopi, teh dan aneka penganan lokal (pisang, singkong, sukun, petatas goreng), jagung rebus, durian, dan lainnya. Sudah saatnya warga Piliana diberdayakan untuk mengambil peran-peran itu.
Bersamaan dengan itu, wilayah di sekitar air Ninivala harus dijaga dari tangan-tangan yang tidak bertanggung jawab. Hal ini sangat penting. Kecenderungan gaya hidup instant nyaris telah merambah ke Piliana. Konon, petuanan di sekitar Piliana sudah memiliki tuan yang baru dari Yaputi. Kecenderungan jual tanah ini juga harus dihentikan jika tidak ingin menyesal di kemudian hari.
Penulis: Pdt.Max.Syauta,.S.Th - Bendahara Sinode GPM Editor : Media Center GPM