[Masohi, sinodegpm.org] - Peningkatan kapasitas pelayan menjadi prioritas yang selalu berkelanjutan untuk menyikapi konteks serta perubahan-perkembangan pengetahuan hingga trend isu yang sedang berkembang, entah itu tentang ekonomi, sosial, budaya, ekonomi, teknologi hingga politik dalam setiap ranah pengetahuan. Setiap pemimpin di GPM pada semua level (jemaat, klasis, sinode) memiliki kesamaan persepktif misologi GPM tentang kepemimpinan gereja, bagaimana pendeta hadir diruang publik untuk melayani dan menjadi dampak perubahan ke arah yang lebih baik.
Klasis GPM Masohi menggelar dialog interaktif tentang kepemimpinan gereja yang melibatkan dua tokoh besar GPM yakni Ketua Sinode GPM Pdt.Drs.A.J.S.Werinussa,M.Si dan Mantan Ketua Sinode GPM Pdt.Dr.J.Chr.Ruhulessin yang berlangsung selasa, (12/7).
Dalam setiap kelompok masyarakat diperlukan seorang pemimpin, hal ini tidak hanya berlaku dalam kelompok atau organisasi besar, tetapi juga dalam kelompok-kelompok kecil. Pemimpin dan kepemimpinan sangat penting dan dibutuhkan dalam kehidupan bersama.
[embed]https://flic.kr/p/WBJTqW[/embed]
Secara umum, kepemimpinan adalah suatu proses dimana seorang pemimpin dapat memengaruhi sekelompok orang untuk mencapai tujuan bersama. Tentunya, pemahaman mengenai intisari atau dasar kepemimpinan itu sendiri sangatlah penting bagi setiap pemimpin dalam mempraktikkan pola kepemimpinannya. Sehingga untuk mengerti sudut pandang kepemimpinan dengan benar, setiap pemimpin seharusnya memiliki konsep serta cara pandang yang benar dalam menunjang dan meningkatkan potensi kiprah sang pemimpin itu sendiri.
Gereja Protestan Maluku, sebagai sebuah intitusi gereja juga memiliki pemimpin untuk bertanggungjawab memimpin dan mengarahkan gereja ini. Secara struktural kepemimpinan gereja (GPM) dibagi atas kepemimpinan pada level yang paling tinggi adalah Sinode, level menengah adalah Klasis dan level yang dibawah adalah Jemaat. Kepemimpinan pada tingkat Jemaat khususnya merupakan basis pelayanan gereja, karena pada tingkat jemaat itulah seorang pemimpin (baca: Pendeta) bersentuhan langsung dengan kehidupan umat yang dipimpinnya.
[embed]https://flic.kr/p/VrQDfK[/embed]
Seorang Pendeta yang ditugaskan untuk memimpin dan melayani pada suatu jemaat bertanggungjawab untuk membina, memelihara dan mengarahkan persekutuan umat sebagai basis pelayanan bergereja. Karena itu sebagai seorang Pendeta di jemaat mesti memiliki kemampuan kepemimpinan yang dapat melayani dengan baik, tetapi juga dituntut memiliki integritas dan eksistensi. Sebab dalam realitasnya, kehidupan di tengah-tengah jemaat sangat majemuk baik dari sisi suku, agama, ras dan etnis tetapi juga aliran keyakinan lainnya.
Karena itu seorang Pendeta di jemaat dituntut memiliki kemampuan kepemimpinan yang melayani, mampu menyikapi persoalan-persoalan pelayan secara internal bergereja/berjemaat. Persoalan-persoalan keumatan yang tentu sangat kompleks ditemui dalam pengalaman konteks, sehingga seorang Pendeta mesti memiliki ciri dan karakter kepempinan gereja, yakni kepemimpinan penggembalaan yang baik. Seorang Pendeta yang melayani di jemaat mesti juga memiliki kepekaan sosial-religius, sehingga secara inklusif mampu membangun relasi-relasi harmoni di tengah-tengah kemajemukan yang tercipta di jemaat.
Pada sisi yang lain, seorang Pendeta di jemaat dalam menjalankan kepemimpinannya tidak hanya berorientasi pada aktivitas pelayan bergereja, tetapi juga mau tidak mau akan bersentuhan dengan persoalan-persoalan di ruang publik.
Tentu sebagai Pendeta dalam berelasi dengan para pimpinan publik, mesti tetap memiliki komitmen dan integritas sebagai pemimpin gereja untuk tetap mempertahankan nilai-nilai keadilan, kebenaran dan kejujuran, bahkan terus memperjuangkannya. Disinilah peran seorang Pendeta dituntut juga memiliki kemampuan dan wawasan kepempinan publik itu, sehingga relasi kemitraan sebagai gereja dan pemerintah tetap berjalan harmonis, namun identitas diri sebagai pemimpin gereja tetap terjaga.
Bahkan ketika pemimpin publik dalam menjalankan kepemimpinannya tidak sesuai dengan harapan masyarakat, maka sebagai pemimpin gereja mampu mempengaruhi dan mengarahkannya untuk menjadi pemimpin publik yang baik.
Terhadap hal itu, maka Klasis GPM Masohi akan melaksanakan kegiatan Pendidikan Kepemimpinan (Leadership Education), kepada para Pendeta dan para Wakil KMJ se-Klasis GPM Masohi.
“Pendidikan Kepemimpinan Gereja”, merupakan kegiatan yang digelar Klasis GPM Masohi untuk meningkatkan kapasitas para Pelayan (baca: Pendeta) sebagai pelayan umat, tetapi juga meningkatkan kemampuan pelayan dalam mengelolah kepemimpinan di tengah-tengah ruang publik. Kegiatan ini digelar pada: Rabu, 12 Juli 2017, di Gedung Gereja Maranatha Jemaat GPM Masohi.
Agar kegiatan berlangsung secara dinamis, aktif dan kreatif, maka kegiatan ini dikemas dalam bentuk Dialog Interaktif. Dialog Interaktif Pendidikan Kepemimpinan Gereja ini sendiri dibagi dalam 2 (dua) topik pembahasan. Topik pertama, Gereja dan Kepemimpinan Penggembalaan, oleh Pdt. A. J. S. Werinussa, M.Si (Ketua MPH Sinode GPM). Pada topik kedua, Gereja dan Kepemimpinan Publik oleh Pdt. Dr. J. Chr. Ruhulessin, M.Si (Mantan Ketua MPH Sinode).
Gereja dan Kepemimpinan Penggembalaan
(Pdt.Drs. A. J. S. Werinussa, M.Si)
Beberapa point penting yang disampaikan Pdt. A. J. S. Werinussa, M.Si tentang Gereja dan Kepemimpinan Penggembalaan:
[embed]https://flic.kr/p/VrQE7p[/embed]
Bahwa Kerja pertama MPH Sinode GPM periode 2015-2020 adalah menetapkan pola kepemimpinannya yang akan mewarnai kerja pelayanan selama lima tahun mendatang. Hal ini penting, sebab dengan menetapkan pola kepemimpinan yang dipegang, akan membantu memberi arah bagi kerja kepemimpinan itu sendiri.
MPH Sinode GPM lalu menetapkan pola kepemimpinannya dengan mengacu ke Tata Gereja GPM Bab IV Pasal 9 yaitu “Pola Kepemimpinan Penggembalaan”. Bagi MPH Pola kepemiminan Penggembalaan diharapkan dapat membantu membangun suasana pelayanan GPM yang betul-betul gerejawi. Persoalannya bagi MPH adalah bagaimana merumuskan secara tajam dan lengkap kerja kepemimpinan penggembalaan tersebut. Ini penting, agar dapat membantu para pelayan dalam mengimplementasikannya dalam tugas melayani ke depan.
MPH kemudian berkesimpulan, pola kepemimpinan penggembalaan merupakan karya semua pelayan yang diperagakan pada jenjang Jemaat, Klasis dan Sinode. Jika demikian apa yang harus dilakukan MPH terkait dengan tipe kepemimpinan tersebut. MPH dapat merumuskan prinsip-prinsip dasar berupa nilai-nilai yang mendasari kerja kepemimpinan itu. Ibarat sebuah lukisan, MPH meletakan goresan-goresan yang merupakan sketsa (garis-garis besar pembentuk pola), dan goresan yang lain dilengkapi oleh Majelis Jemaat dan Majelis Pekerja Klasis. Dengan demikian, kepemimpinan penggembalaan adalah karya bersama seluruh gereja. Karya bersama itulah searah dengan eklesiologi GPM.
Kepemimpinan Penggembalaan yang digagas oleh GPM beranjak dari Visi-Misi dan tujuan bergereja yakni; Pemberitaan Injil. Pemberitaan Injil harus menjadi dasar gereja dalam membangun Kepemimpinan Penggembalaan, oleh karena itu gaya kepemimpinan penggembalaan bertumpu pada gaya Kristus mencari yang terhilang dan mengumpulkan yang tersesat. Polanya adalah menuntun yang dipimpim. Kepemimpinan penggembaalaan memberi tuntunan dalam bentuk gagasan-gagasan baru untuk maju, serta kerja mewujudkan gagasan tersebut.
Pemimpin penggembalaan memiliki tiga hal penting :
- Idealisme tentang masa depan dan kerja mewujudkannya. Idealisme adalah kompas untuk mengarahkan kerja kepemimpinan. Namun idealisme bukan terarah kepada kepentingan pribadi dan kelompok tertentu, melainkan kepada kepentingan GPM dan pelayanan pemberitaan injilnya. Memang menjadi pemimpin di GPM, kerjanya dipandu oleh PIP/RIPP (Pola Induk Pelayanan dan Rencana Induk Pengembangan Pelayanan) Ketetapan Persidangan Sinode, namun sebagai pemimpin berdasarkan panduan itu, harus memiliki kemampua melihat jauh ke depan. Melihat jauh untuk menciptakan kemungkinan-kemungkinan baru sebagai potensi untuk kemajuan gereja dan umatnya.
- Kepribadian yang memberi pengaruh kepada orang lain dapat bertumbuh. Kepribadian yang memberi pengaruh, diselenggarakan melalui keteladanan. Memang pemimpin di GPM bukan malaikat, namun itu bukan alasan untuk adanya usaha memimpin dengan teladan. Teladan yang dimaksudkan bertujuan untuk memelihara kepentingan gereja dan kerja pemberitaan Injilnya. Teladan dalam kerja keras, mengelola uang, setia pada panggilan tugas di atas kepentingan pribadi, dll.
- Kemampuan berpikir dan bertindak dalam konteks, dalam hal ini terfokus pada GPM sebagai wadah pengabdiannya. Kerja kepemimpinan harus berorientasi pada lembaga atau komunitas yang dipimpinnya. Dengan begitu, seluruh kemampuan berpikir dan bekerja digerakan searah dengan dinamika dan mekanisme GPM, bagi kepemimpinan di GPM.
Terhadap itu, maka ciri Kepemimpinan Penggembalaan:
- Setiap pemimpin gereja harus mengenali umatnya, hal ini terkait dengan situasi problematik yang dihadapi umat.
- Setiap pemimpin gereja harus mencari yang terhilang dan mengumpulkan yang tersesat, untuk masuk dalam persekutuan hidup bersama.
- Seorang pemimpin gereja harus bekerja dengan sabar
- Seorang pemimpin gereja mengajak orang untuk melakukan sesuatu dengan benar.
- Seorang pemimpin harus bekerja untuk apa yang tepat dan terbaik bagi orang lain atau jemaat, bukan bagi diri sendiri.
- Sorang pemimpin gereja ketika menghadapi masalah, kemudian diselesaikan tidak dibiarkan begitu saja.
- Seorang pemimpin gereja harus bisa mengakui kesalahan
- Seorang pemimpin harus membimbing dan memperhatikan orang lain.
Terkait dengan Kepemimpinan Penggembalaan di Ruang Publik, Pa Ates menyampaikan bahwa: Ruang publik adalah ruang dimana aktivitas masyarakat berlangsung. Di ruang publik dikendalikan oleh ketentuan-ketentuan bermasyarakat (nilai dan norma budaya, adat istiadat, peraturan dan perundang-undangan negara). Ruang publik perlu dikendalikan agar kepentingan masyarakat terjamin.
Kepemimpinan Penggembalaan adalah kepemimpinan gereja, salah satu komunitas yang beraktivitas juga di ruang publik itu. Kepemimpinan Penggembalaan dan aktivitas ruang publik memiliki korelasi. Karena pertama, ruang publik memiliki jabatan-jabatan publik yg juga dijabat oleh warga gereja. Karena itu nilai kepemimpinan penggembalaan sangat relevan. Kedua, karena aktivitas masyarakat di ruang publik adalah untuk menjamin kelangsungan hidup mereka, sementara ruang publik terbuka kemungkinan nilai-nilai kemanusiaan terancam karena kepentingan berbagai kelompok, karena itu nilai kepemimpinan penggembalaan dapat memberi nilai baru bagi aktivitas ruang publik. Nilai baru itu adalah nilai yang menjamin hak-hak hidup umat manusia dan alam semesta.
Gereja dan Kepemimpinan Publik
(Pdt. Dr. J. Chr. Ruhulessin, M.Si)
Beberapa point paparan, Pdt. Dr. J. Chr. Ruhulessin, M.Si tentang Gereja dan Kepemimpinan Publik:
Bahwa dalam beberapa waktu terakhir, kehidupna publik diwarnai persoalan dan kecenderungan politik identitas. Bagi Pa Jhon politik identitas itu sebetulnya juga wujud dari fakta bahwa bangsa ini plural. Orang mulai mempersoalkan identitas mereka di tengah hiruk pikuk pembangunan bangsa. Itu sesuatu yang sangat sosiologis sifatnya.
[embed]https://flic.kr/p/WFkS9t[/embed]
Kemajemukkan adalah fakta sosiologis dan historis, yang tidak dapat ditolak. Karena itu perlu kepemimpinan gereja yang mampu hadir di ruang-ruang publik, sebab gereja sendiri melihat ruang publik dan politik bukanlah sesuatu yang tabu. Justru gereja harus melihat ruang publik dan politik sebagai ruang pelayanan untuk melayani dan mensejahterakan. Melalui corak kepemimpinan gereja yang di ruang publik itulah gereja tidak hanya sibuk dengan dirinya sendiri melainkan dapat menyumbang sesuatu yang berarti bagi kebaikan bersama.
Pertanyaannya, kepada siapa gereja mempertanggungjawabkan pelayanannya? Kapan orang merasakan gereja betul-betul menjalankan pelayanannya dengan baik. Gereja mempertanggunjawabkan pelayanannya pada publik dan ketika gereja mampu melayani dengan baik di ruang publik, maka disitulah orang akan merasakan kehadiran gereja.
Gereja dan ruang publik dan politik tidak boleh di dikotomi, sebab gereja itu bagian dari realitas publik. Bahwa politik kadang-kadang terjadi masalah, tetapi etika publik membuat politik menjadi lebih santun
Gereja sekarang sudah mulai menampakkan posturnya pelayanannya, oleh karena itu gereja harus hadir di ruang publik tetapi tentu dengan etika publik. Sebagai gereja kita harus hadir di ruang publik, tetapi dengan karakter yang berbeda. Karena itu sebagai pendeta jangan pernah menolak hadir di ruang publik tentu harus ada jarak kritis.
Segala sesuatu adalah politik, tetapi tidak segala sesuatu itu politik. Politik itu memiliki koridor, dimensi. Karen itu politik tidak gampang. Kita berbicara pada tataran bagaimana mencari perspektif sebagai sebuah visi gereja, bukan politicing. Dalam kesadaran itu, ada beberapa hal yang menjadi gagasan bagaimana gereja dan kepemimpinan publik menempatkan etika publik sebagai basisnya:
- Gereja harus menjadi kekuatan penggerak mengembangkan suatu etika publik yang lahir dari upaya kontekstualisasi dan teologinya. Gereja yang hadir di ruang publik harus mampu mengusahakan suatu teologi yang pro kehidupan dan kemanusiaan.
- Kehadiran gereja yang hadir di ruang publik membutuhkan common ground morality dalam masyarakat majemuk yang mampu menolong dan memberdayakan dan melakukan tugas-tugas menghadirkan tanda-tanda syalom Allah di tengah-tengah kehidupan bersama; menciptakan masa depan Maluku yang adil, damai, setara dan berkemakmuran.
- Kepemimpinan gereja yang hadir diruang publik, harus dengan cara yang berbeda. Mempengaruhi ruang publik itu bukan saja karena kita terlibat, mengambil peran tetapi juga denga sumbangan sikap yang berbeda sesuai dengan harapan masyarakat.
Kegiatan mendapat antusias dari para Pendeta dan para Wakil Ketua Majelis, menurut salah satu peserta materi ini sangat penting karena dapat membangun karakter Pendeta sebagai seorang Pemimpin yang hadir untuk melayani bukan untuk berkuasa. Kehadiran di ruang-ruang publik pun menjadi sebuah keharusan, untuk membangun komunikasi yang baik dengan para pemimpin publik dalam relasi harmoni demi terwujudnya kehidupan umat atau masyarakat yang aman, damai dan sejahtera.
Kegiatan ini kemudian diakhiri dengan doa untuk mengakhiri seluruh poroses kegiatan dialog interaktif Pendidikan Kepemimpinan Gereja Klasis GPM Masohi.
Penulis : Pdt.N.Putileihalat,.S.Th Editor : Media Center GPM