[RUTE LEIPZIG – BERLIN, sinodegpm.org] Berlin 2 Juli 2017
Martin Luther, bapa Reformasi Gereja (1517), melakukan gerakan protes yang tidak hanya terkait dengan hal-hal doktriner dalam Gereja Katolik Roma, saat itu di Jerman. Gerakan itu sebenarnya muncul dan sekaligus memberi efek yang besar dalam bidang ekonomi, sosial dan politik.
Kapitalisme sebagai raksasa modern dan praktek pemerintahan yang otoriter telah menjadi dua sisi yang turut mempengaruhi cara pandang teologi gereja. Sehingga dogma-dogma lahir pula sebagai semacam mekanisme untuk menegakan posisi ‘pemerintahan gereja’. Bukan hal yang mustahil jika yang dirasakan masyarakat adalah ketidakadilan, perbedaan sosial, dan segmentasi hak sosial politik warga.
Reformasi Luther memang cukup ‘akademis’ sifatnya. Tetapi setidaknya pernah ada dalam sejarah sebuah gerakan yang menginspirasi sekaligus menggugah semua orang di dunia mengenai hakekat kehadiran Allah dan karya keselamatan Allah yang universal. Allah dalam kehadiranNya tidak terkurung di dalam rumusan doktriner melainkan dalam komunikasi yang humanistik.
Keselamatan pun bukan soal bagaimana memenuhi kewajiban legalis agama, melainkan bagaimana menghadirkan keadilan, kesetaraan dan perdamaian.
Sepanjang hari-hari menghadiri Sidang Raya ke-26 Persekutuan Gereja-gereja Reformasi Sedunia (WCRC) di Messe, Leipzig, Jerman, imaji reformasi Luther yang kemudian ditopang Calvin, Swingly, dlsb, menegaskan bahwa gereja hadir di dunia untuk semua (Kirche offen fur alle).
Meruntuhkan tembok pemisah, itu adalah spirit reformasi di dunia dewasa ini. Proses ke arah itu memang memerlukan sebuah gerakan gereja yang pastoralistik supaya reformasi tidak meninggalkan residu sosial berupa kesemerawutan (=tatanan sosial yang kacau/talamburang).
Reformasi harus dapat membentuk suatu tatanan hidup baru yang terus ditransformasi dan mentransformasi masyarakat. Reformasi tidak boleh kembali ke titik anomali kesadaran publik melainkan membentuk karakter dan teologi publik sebagai penuntun sikap masyarakat.
Reformasi tidak pernah berakhir, karena reformasi merupakan tahap pertama transformasi. Sebab itu di Jerman, Reformasi Luther (1517) dan runtuhnya tembok Berlin (1989) menjadi dua momentum reformasi dan transformasi politik, sosial, ekonomi dan teologi. Dalam masa-masa sulit/krisis, gereja menjadi rumah yang terbuka untuk semua orang (pengungsi, orang miskin, korban bencana alam/sosial, dlsb).
KARIUW, 2 JULI 2017
Saya, hari ini (Minggu, 2 Juli 2017), berada jauh dari Kariuw. Saya merasa, apa yang berlangsung di Kariuw hari ini merupakan peristiwa sejarah besar dan luhur. Gereja Ebenhaezer di Kariuw dan Jemaat Kariuw hari ini telah ditransformasi menjadi simbol liturgi persaudaraan gandong dan lintas agama. Penahbisan gereja itu menunjukkan bahwa ibadah gereja adalah ibadah yang terbuka bagi dunia dan manusia.
Beberapa hari belakangan ini kita menyaksikan ratusan umat muslim menunaikan shalat Ied di halaman gereja, ada pula di dalam gereja (Amerika), atau juga pengubahan nama sebuah Masjid dengan nama Bunda Maria.
Semua itu adalah wujud relasi yang inklusif. Namun yang terjadi hari ini di Kariuw sedikit berbeda. Sebab ibadah itu kini menjadi sebuah liturgi/selebrasi yang melibatkan semua saudara gandong (Booi, Aboru, Kariuw, Hualoi) dalam satu tata ibadah. Hualoi adalah satu-satunya negeri Salam (Islam) dan tiga lainnya ialah Protestan. Selain itu, basudara Salam dari Ori dan Pelauw telah terlibat sejak awal dalam pembangunan kembali gedung gereja itu.
Keterlibatan basudara gandong dan basudara Salam menjadi penting sebab mereka berperan dalam bagian ritual gereja. Konsep pembangunan gereja ini adalah “ada tampa tangang” dari basudara gandong. Gandong Booi memberi mimbar pemberitaan dalam bangunan gereja ini. Artinya berita Injil menjadi berita persaudaraan dan cinta kasih yang tulus. Gandong Aboru memberi meja perjamuan kudus.
Dan hari ini juga dilaksanakan ibadah perjamuan kudus (jam 19.00) dan mengingatkan gereja akan pentingnya mengenang (anamnesa) kasih Kristus yang membebaskan dan mengutuhkan kembali. Persaudaraan adalah penyatuan kembali orang-orang basudara. Gandong Hualoi membangun “trap-trap”, jalan masuk ke gereja. Ini menjadi simbol sharing spiritualitas Salam-Sarane.
Di jalan itu orang Kristen pergi beribadah. Masuk ke dalam rumah TUHAN. Di jalan itu pula orang Kristen pergi ke dunia dan mereka berjumpa dengan saudaranya sendiri. ‘Jalan Gandong’, atau ‘Jalan Hualoi’, adalah jalan perjumpaan orang basudara.
Itulah spirit persaudaraan yang dibangun di atas falsafah hidop gandong. Adat kini bukan sekedar proses membangkitkan memori. Adat kini menjadi narasi dan akta hidup bersama. Dalam selebrasi itu perbedaan benar-benar menjadi harta yang dinikmati dan dihidupi bersama-sama.
Kariuw telah mentransformasi masyarakat adat di Maluku untuk menyatakan bahwa sampai di sini, TUHAN menyertai kita. Istilah “sampai di sini” tidak bermakna “selesai”, namun bahwa kehadiran TUHAN itu telah terjadi dan Ia mengantar kita sampai di sini, untuk terus mentransformasi dunia.
(Berlin Chatedral, 2 July 2017)
Penulis : Pdt.E.T.Maspaitella,.M.Si