Klasis GPM Tanimbar Utara ke-47 tahun.
28 Mei 1973 - 28 Mei 2020.
Teruslah menanam dan menyiram. Allah pasti menumbuhkan.
SEKILAS LATAR PEKABARAN INJIL.
Panitia Penyelenggara Sidang Raya X DGI di Ambon (tahun 1984) dalam bukunya “OIKUMENE DAN BUAH-BUAH INJIL DI BUMI 1.000 PULAU” hanya menulis satu kalimat singkat tentang Tanimbar: “Untuk kepulauan Tanimbar ditempatkan seorang guru sekolah pada tahun 1682, namun tidak ada laporan lanjut mengenai hasilnya”.
Tetapi menurut Pastor Bohm, pada tahun 1646 telah diutus Pendeta N. Vertregt ke kepulauan Tanimbar untuk mengabarkan Injil. Kemudian tahun 1683 dikirim pula seorang guru ke Fordata. Tidak ada catatan, siapa namanya. Namun tidak lama ia ditarik kembali. Selanjutnya tidak ada kabar berita mengenai usaha tersebut. Hal ini berarti, 41 tahun kemudian, setelah pelaksanaan ibadah Protestan I di Benteng Victoria – Ambon, tanggal 27 Februari 1605, Pekabaran Injil dan Gereja Protestan mulai memasuki kepulauan Tanimbar (tahun 1646), untuk selanjutnya dimulai lagi tahun 1682/1683.
Apabila kita mengacu pada tahun 1682, maka setelah 141 tahun penantian, barulah penduduk Tanimbar kembali mendengar berita Injil melalui kunjungan pertama Joseph Kam (Rasul Maluku) tahun 1823. Kunjungan pertama ini meliputi Leti, Moa, Lakor, Kisar, Babar dan Tanimbar dengan menumpang kapal dagang. Tidak ada catatan, di bagian Tanimbar mana, Kam menginjakkan kakinya. Namun dalam kunjungan ini, Kam tidak menemukan seorang Kristenpun (lagi) di Tanimbar.
Kunjungan kedua terjadi tahun 1825 dengan menumpang kapal perang Dourga. Kunjungan ini meliputi kepulauan Selatan Daya, Babar, Aru kemudian ke Fordata dan Yamdena Utara. Terhadap kunjungan kedua di Tanimbar ini, D.H. Kolff, berpangkat letnan, nakhoda kapal perang kecil bertiang dua, bernama Dourga, dalam bukunya “Voyages of The Dutch Brig of War, Dourga, Through Southern and Litle-Known Parts of Moluccan Archipelago, and Along The Previously Unknown Southern Coast of New Guinea, Performed During in the years 1826 & 1826”, menulis: “Bila dipandang dari kejauhan, sepuluh atau duabelas rumah yang membentuk kampung ini tampak indah”, ketia ia menjelaskan suatu kampung kecil bernama Maktia, yang berjarak 20 mil dari Serra. Maktia adalah sebutan Kolff untuk Makatian. Kolff dan sejumlah kecil pasukan yang bersamanya dalam pelayaran itu terdesak oleh kebutuhan akan air segar setelah pelayaran panjang dari Labobar. Orang Kaya (Raja) dari Serra telah menanti Kolff dan anak buahnya di perairan dekat Maktia. Ia mengirim seorang utusan ke pantai, tetapi tidak masuk ke dalam kampung. Utusan orang Kaya Serra itu hanya berteriak memanggil penghuni kampung dari kejauhan. Kampung tampak tidak berpenghuni. Kolff dan anak buahnya tidak melihat siapapun, kecuali dua orang laki-laki tanpa senjata yang berjalan meninggalkan kampung itu. Meski tidak ada tanda bahaya, Kolff menasehati anak buahnya agar tetap waspada. Dari kapalnya, Kolff mengirim beberapa orang prajurit yang ditemani oleh beberapa anak buah orang Kaya Serra ke dalam hutan di pinggir kampung untuk mencari sumber air segar, tetapi mereka kembali dengan tangan hampa. Setelah menerima petunjuk dari orang Kaya Serra, Kolff kembali mengutus prajurit-prajuritnya ke dalam kampung, dan mereka kembali membawa air segar yang diisi penuh dalam dua batang bambu. Kolff pun turun ke pantai. Ia mengeluarkan sehelai baju dan bendera kecil yang dibawanya lalu menggantungkannya pada satu dari banyak pepohonan di pinggir pantai. Tiba-tiba saja satu anak panah melesat dari balik semak belukar di sekitar mereka. Anak panah yang ditembakkan itu mengenai J. Moll, seorang prajurit angkatan laut yang pada waktu iitu sedang mengumpulkan kayu bakar. Ia segera dibopong ke alam perahu, sementara dua rekannya berlari menuju semak belukar untuk mencari sang penyerang, tetapi tidak ditemukan. Orang Kaya Serra menyarankan agar letnan Kolff membawa serta anak buahnya untuk membumihanguskan kampung, tetapi Kolff tidak ingin melakukannya, karena ia ditugaskan pemerintah Belanda untuk mengadakan pembicaraan damai dengan masyarakat agar mau menerima kembali Belanda setelah Inggris menyerahkan kekuasaannya atas Maluku kepada Belanda. Tidak lama sesudah itu Kolff dan seisi kapalnya mendengar bunyi gong dari dalam hutan. Orang Kaya Serra memberitahukan kepadanya bahwa itu adalah pertanda penduduk setempat sedang memanggil pasukannya untuk berkumpul. Air laut masih surut. Kolff dan pasukannya tetap berjaga di geladak. Baru pada pukul tujuh malam, air mulai pasang. Kapal kecil bertiang dua itu segera berlayar membawa Kolff, Kam, dan pelaut-pelaut lainnya meninggalkan ketegangan di pesisir Maktia yang berlumpur”. Dari cerita Kolff diketahui bahwa Joseph Kam ikut dalam pelayaran itu, tetapi tidak berkesempatan menginjakkan kakinya di Makatian. Namun, kesan Kam pada waktu itu, kepulauan Tanimbar masih diliputi oleh kabut kekafiran.
Kunjungan Kam yang ketiga tahun 1833 dari Ambon dengan kapal milik Gubernemen tujuan Banda, Gorom, Aru, Kei dan terakhir Tanimbar. Di Tanimbar Kam sempat singgah di Watidal. Perjalanan ketiga ini, merupakan perjalanan terakhir pengabdiannya di Maluku, karena sakit dalam perjalanan, kemudian meniggal di Ambon pada tanggal 18 Juli 1933. Haruslah diakui, bahwa selama 3 kali masa perkunjungan, berita Injil telah tertabur dengan baik dan mulai berakar, ditegah medan pelayanan yang sulit dalam banyak hal, (sulit alam dan masyarakat) di Tanimbar secara khusus.
Usaha Kam tersebut kembali terkatung-katung selama masa kevakuman yang panjang. Pelayanan rohani umat terabaikan karena berbagai sebab, yang sulit teratasi. Baru pada tahun 1892 Pendeta Nicolas Salike van Ema berkesempatan dikirim ke Tanimbar dan bertugas di pulau Selaru, setelah ia gagal bekerja di Yamdena Timur, karena katanya, penduduk disana ganas-ganas.
Menjelang akhir abad XIX Pekabaran Injil di kepulauan Tanimbar mulai diintensifkan. Para Pendeta pembantu (Indisch Predikant) dan para Guru Injil (Inland Leraar) yang semuanya berasal dari Ambon mulai dikirim ke Tanimbar. Kebanyakan dari mereka bertugas sebelum 6 September 1935 saat GPM berdiri sendiri. Dengan demikian jemaat mulai terbentuk secara baik di kepulauan Tanimbar, ditengah kehidupan penduduk yang kafir dan ganas. Menurut Pendeta J. Wattimena (Almarhum), ibadah yang dipimpinnya dihadiri oleh sebagian besar laki-laki yang semuanya bercawat. Mereka duduk bersila ditanah secara teratur, lengkap dengan tombak, parang, busur anak panah dengan wajah-wajah yang seram serta siap bertempur. Sambil menumbuk/makan pinang, mereka dengan tekun mengikuti khotbah, sambil menggangguk kepala dengan suara uuuu (panjang) bila berita Injil berkenan dihati mereka. Namun para pemberitapun siap dipancung apabila beritanya salah diterima. Maka menurut beliau tidak ada cara lain untuk memenangkan umat, selain harus berpasrah diri pada peranan Tuhan dan karya Roh-Nya. Karena itu, menurut Pendeta J. Wattimena, dalam melayani pekerjaan Tuhan, Gereja dan para Pelayan-Nya harus mendasarkan diri secara sungguh-sungguh pada kehendak Allah dan bukan pada keinginan manusia yang melayani.
Demikianlah selayang pandang, masa-masa awal benih Injil ditaburkan dikepulauan Tanimbar dan yang bertumbuh serta berkembang oleh kuasa Kasih Allah melalui kesediaan dan kesetiaan para hamba-Nya yang tidak mengenal lelah dan istirahat dalam menanam dan menyiram (banding Meterai GPM – I Korintus 3 : 6).
KEPULAUAN TANIMBAR SEBAGAI KLASIS GPM – PEMEKARAN KLASIS.
Setelah menyatakan diri sebagai gereja mandiri pada 6 September 1935, Gereja Protestan Maluku mulai menata kelembagaannya dalam 7 (tujuh) wilayah pelayanan klasis dan 6 (enam) bagian gereja atau affdelling (wilayah pelayanan setingkat klasis). Keenam klasis itu adalah Klasis Ambon, Jemaat Khusus Bandar Ambon, Klasis Pp. Lease, Klasis Seram Barat, Klasis Banda dan Klasis Ternate. Pembagian klasis ini didasarkan antara lain pada persyaratan bahwa Jemaat-jemaat pada klasis-klasis tersebut sudah dewasa, sudah berdiri tetap dan sudah mempunyai Majelis Jemaat yang dipilih sendiri, dll, dengan keistimewaan khusus untuk Jemaat Bandar Ambon dalam kedudukan setingkat dengan Klasis.
Bersamaan dengan penetapan 6 buah Klasis itu, ditetapkan pula 7 bagian Gereja (Afdelling) yang belum mempunyai hak penuh sebagai Klasis. Hal ini disebabkan karena jemaat-jemaatnya masih muda, serta Majelis Jemaatnya belum terbentuk. Ke-6 bagian gereja atau afdelling itu adalah: Aru, Kei, Tanimbar, Babar, Kisar dan Irian Jaya. Dari struktur ini, maka kepulauan Tanimbar menjadi salah satu bahagian pelayanan yang disebut Afdeling Zuid Tanimbar. Sebagai suatu Afdeling maka jemaat-jemaat yang telah lama terbentuk, berkedudukan sebagai Gemeente. Gemeente-gemeente tersebut di Yamdena Selatan adalah Lermatang, Latdalam, Makatian, Seira, Adaut, Namtabung, Lingat, Kandar, Werain, Eliasa, Fursuy, Otemar, Wermatang dan Saumlaki (14 Gemeente).
Setelah sejumlah syarat yang dibutuhkan untuk ditingkatkan statusnya dari afdeling menjadi klasis terpenuhi, seiring dengan makin berkembang dan teraturnya penataan pelayanan (termasuk struktur majelis Jemaat) maka pada tahun 1948, kepulauan Tanimbar diresmikan menjadi salah satu klasis di GPM, meliputi 44 jemaat dan berpusat di Saumlaki.
Karena luasnya wilayah pelayanan, maka demi kelancaran tugas pendampingan, pelayanan dan pembinaan umat, wilayah geografis Tanimbar Utara kemudian dijadikan Ressort Klasis yang dipimpin oleh seorang Ketua Ressort dan bertanggung jawab secara langsung kepada Ketua Klasis di Saumlaki.
Pada tahun 1969/1970, muncul keinginan yang kuat dari jemaat-jemaat di wilayah Tanimbar Utara untuk menjadi klasis sendiri. Keinginan itu kemudian disampaikan kepada Badan Pekerja Sinode GPM oleh 7 orang Penatua yang mewakili umat dan para Pelayan se-Ressort Tanimbar Utara. Keinginan tersebut memang bagus bila ditinjau dari berbagai segi antara lain luas dan sulitnya medan pelayanan suatu kepulauan (pengalaman penuh tantangan pada masa Ketua Klasis Pdt. M. Alfons, atau sering disapa Bapa Ti, antara tahun 1950-an sampai tahun 1960-an). Hanya prosedur penyaluran keinginan baik ini, langsung disampaikan ke Badan Pekerja Sinode GPM (sturuktur lama BPS) tanpa dikoordinasikan dengan Pimpinan Klasis Kepulauan Tanimbar di Saumlaki. Namun keinginan itu semakin tak terbendung, karena pengalaman berkarya di Klasis Kepulauan Tanimbar, menunjukkan betapa tingginya kesadaran umat di resort Tanimbar Utara untuk menopang seluruh tanggung jawab pelayanan, dibandingkan dengan umat di wilayah Tanimbar bagian Selatan. Hal ini paling menonjol terlihat pada 7 jemaat di Yamdena Utara bagian Timur, yang oleh Pdt. M. Alfons dijuluki sebagai “7 Jemaat di Asia Kecil”. Ketujuh jemaat itu adalah Jemaat Arma, Jemaat Watmuri, Jemaat Manglusi, Jemaat Tutukembong, Jemaat Waturu, Jemaat Lumasebu dan Jemaat Kilmasa. Karena itulah, dirasa perlu adanya pemekaran Klasis agar umat di Tanimbar Selatan belajar memiliki kemampuan untuk mandiri dalam hal bergereja.
Keinginan pemekaran Klasis Kepulauan Tanimbar itu kemudian dicetuskan/diusulkan dan mendapat respons positif dalam Sidang Sinode tahun 1970.
Pada Sidang Resort Klasis Tanimbar Utara tanggal 7 – 10 Maret 1971 yang dipimpin Ketua Klasis Pdt. Polly Lohy, masalah pemekaran Klasis Kepulauan Tanimbar hangat dibicarakan. Menjelang penutupan Sidang Resort, dibentuk suatu Panitia Persiapan untuk pemekaran yang diketuai oleh Sdr. J. Rahareng.
Dalam Sidang Sinode tahun 1972 diputuskan untuk menjadikan Ressort Tanimbar Utara menjadi Klasis Tanimbar Utara. Setelah melalui persiapan yang matang, pada tahun 1973, berdasarkan Surat Keputusan Badan Pekerja Sinode GPM, Nomor: 77/IX/Org., tanggal 26 April 1973, Klasis Kepulauan Tanimbar dimekarkan menjadi Klasis Tanimbar Selatan yang berpusat di Saumlaki, dan Klasis Tanimbar Utara yang berpusat di Larat.
Sebagai tindaklanjut dari Surat Keputusan Badan Pekerja Sinode GPM, Nomor: 77/IX/Org., tanggal 26 April 1973 itu, maka pada tanggal 28 Mei 1973, bertempat di Gedung Gereja MARTHIN LUTHER, Jemaat GPM Lelingluan, dilakukanlah akta pengresmian pemekaran Klasis Kepulauan Tanimbar menjadi Klasis GPM Tanimbar Selatan dan Klasis GPM Tanimbar Utara, oleh Majelis Pekerja Sinode GPM, atas nama Pdt. J.M. Wattimena, S.Th. Secara de fakto, tanggal ini kemudian ditetapkan sebagai “hari lahir” Klasis GPM Tanimbar Selatan (dan Klasis GPM Tanimbar Utara).
Pdt. E.P. Sopacua, S.Th., yang mewakili Klasis GPM Tanimbar Selatan saat itu kemudian ditetapkan sebagai Ketua Klasis GPM Tanimbar Selatan. Sedangkan Ketua Ressort Tanimbar Utara, Pdt. C. Ririhena, Sm.Th., kemudian ditetapkan sebagai Ketua Klasis GPM Tanimbar Utara, berdasarkan SK Badan Pekerja Sinode GPM, Nomor: 166/I/Pa., tanggal 28 Agustus 1973.
Dengan demikian, Klasis GPM Kepulauan Tanimbar yang dilembagakan tahun 1948, karena kepentingan pelayanan, kemudian diresmikan menjadi dua Klasis, yakni Klasis GPM Tanimbar Selatan yang berpusat di Saumlaki dan Klasis GPM Tanimbar Utara yang berpusat di Larat.
Secara kelembagaan, Klasis GPM Tanimbar Selatan (dan Klasis GPM Tanimbar Utara) memang baru berusia 43 tahun (atau jika dihitung sejak pelembagaan Klasis Kepulauan Tanimbar tahun 1948, telah berusia 68 tahun). Namun sesungguhnya, berita Injil telah menjamah hati generasi Tanimbar – jauh sebelum generasi sekarang ini – 370 tahun lalu.
Oleh anugerah Yesus Kristus, hari ini, Kamis, tanggal 28 Mei 2020, umat dan para Pelayan se-Klasis GPM Tanimbar Selatan dan Tanimbar Utara kembali menyaksikan kebaikan Tuhan Yesus melalui proses menanam dan menyiram kasih Allah di kepulauan Tanimbar di usia kedua klasis ke-47 tahun, pasca pemekaran tanggal 28 Mei 1973. Kenyataan karya Allah dalam seluruh tugas menanam dan menyiram di bumi Duan – Lolat ini patut kita syukuri bersama, sambil bedoa:
Tuhan,
Kepulauan Tanimbar adalah kepunyaan-Mu,
Di atas tanah ini, benih Injil-Mu ditaburkan, sejak tahun 1646.
Benih itu bertumbuh, tetapi layu dihati generasi jauh sebelum kami,
Pertikaian antar marga dan kampong yang berdarah-darah,
Perebutan kekuasaan dan hak atas tanah dengan parang, tombak dan panah,
Kekerasan, dendam, benci dan khianat,
Adalah sebagian episode yang melatari pergumulan gereja-Mu di Tanimbar,
Jauh sebelum melembaga sebagai Klasis Kepulauan Tanimbar di tahun 1948, dan proses pemekaran yang membidani,
Lahirnya Klasis GPM Tanimbar Selatan
dan Klasis GPM Tanimbar Utara), 28 Mei 1973.
Tuhan,
Di usia Klasis GPM Tanimbar Selatan (dan Klasis GPM Tanimbar Utara) ke-47 ini,
Benih Injil ini masih terus ditanam, disiram dan bertumbuh,
Mengajak hati kami untuk terus mengasihi-Mu,
Dan sesama dengan iklas,
Mengajak kami terus berjalan di belakang-Mu,
Sambil memikul salib kami masing-masing; salib gereja-Mu.
Untuk perjalanan pelayanan yang meletihkan,
Memulihkan yang sakit dan terluka,
Mencari yang terhilang di sudut hati,
Mengurai akar kemiskinan, kebodohan dan keterbelakangan,
Mengakhiri pertikaian yang menyusahkan.
Kristus,
Di hari ini, ingin kami menengok ke belakang,
Meninjau ulang masa lalu,
Mengamati jalan hidup kami sebagai gereja,
Yang turun-naik, berliku-liku,
Membuka kembali lembaran yang terang dan suram,
Menyesali segala dosa,
Memohon Tuhan mengasihani dan mengampuni,
Hati dan tangan generasi sebelum kami, yang menyimpang dan berdarah,
Agar tidak terwarisi akar pahit yang membelenggu,
Hidup dan masa depan generasi kami,
Menarik hikmah dari segala kejatuhan,
Mensyukuri penyertaan Tuhan, bahwa kami selamat melewatinya,
Mengajak kami bersaksi: “Sampai disini Tuhan sudah menolong”.
Kristus,
Di hari ini, ingin kami memandang ke masa depan,
Membayangkan jalan yang masih harus ditempuh,
Menduga-duga kemana jalan ini akan mengarah,
Mencemasi apa yang akan terjadi,
Mengkhawatiri kesulitan yang akan menghadang,
Menakuti musibah yang akan menimpa,
Menimbang-nimbang apa yang musti kami siapkan,
Untuk itu kami mempercayai: “Tuhan pasti menyertai”.
Tuhan,
Biarlah hari ini kami berjalan di belakang-Mu,
Mengikuti kaki-Mu melangkah,
Mermikul salib-Mu.
Berjalanlah di depan kami,
Kami berjalan di belakang-Mu,
Hari demi hari.
Amin.
(Doa ini diadaptasi dari ‘Doa “Memikul Salib” dan “Pada Hari Ulang Tahunku”, oleh Pdt. Dr. Andar Ismail dalam buku “Selamat Berteduh”).
Selamat berjalan bersama Tuhan Yesus di usia Klasis yang baru. Terima kasih kepada para Pelayan dan semua warga gereja yang telah menopang pelayanan Gereja Protestan Maluku di kepulauan Tanimbar selama ini. Tuhan beserta kita selalu.
Ambon, 28 Mei 2020.
Tulisan ini disusun dengan memanfaatkan 2 (dua) sumber utama:
(1) Pdt. Z. Sedubun; MENGUAK TABIR YAMDENA: 350 Tahun Gereja Protestan Berkembang Di Kepulauan Tanimbar, dalam rangka pelaksanaan Sidang Ke XVIII BPL Sinode GPM di Saumlaki, 1996.
(2) Panitia Pelaksana Sidang Ke 31 BPL Sinode GPM; Buku Panduan Sidang Ke 31 BPL Sinosde GPM, Larat, Oktober 2009.
----
Penulis : Pdt. Max Syauta