DARI “ELIORA” KE “BETHEL”
(Sekilas Pelayanan Di Klasis GPM Lemola).
Waktu berputar begitu cepat. Aktifitas pelayanan yang menguras tenaga, satud emi satu terlewati. Tetapi, agenda yang lain telah menanti pula. Pulau demi pulau, laut dan darat “dilangkahi”. Kadang, laut begitu tenang. Kaki langit berhias awan tipis terlihat jelas di pelupuk mata. Angin sepoi-sepoi mengusap wajah. Rasa kantung datang tanpa mampu dicegah. Kadang laut bergelora, memuntahkan isi perut yang tersisa. Guruh dan petir menggelegar, sambung-menyambung. Angin menderu meruntuhkan rasa percaya diri. Di darat, jalanan panjang dan pesisir pantai terbentang, bagai tak bertepi. Gunung dan lembah berjejal untuk didaki dan dituruni. Demikian sekilas “peta” pelayanan di gereja laut-pulau ini.
Besarnya tantangan pelayanan tak boleh menyurutkan hati untuk terus melangkah. Sebab sedemikian besar tantangan, demikian juga besarnya kasih setia Allah. Syair lagu dalam PKJ No. 242 menggambarkan secara ajaib kasih Allah itu: “sedalamnya laut, seluas angkasa, cara Tuhan mengasihiku. Kasih-Nya besar, Agung dan Mulia, cara Tuhan mengasihiku”.
Mengikuti perjalanan pelayanan Ketua MPH Sinode GPM ke beberapa klasis GPM, merupkan kesempatan langkah. Kali ini, perjalanan pelayanan mengantar kami ke klasis GPM Letti-Moa-Lakor (Lemola). Ada sejumlah agenda pelayanan yang telah menanti Ketua MPH Sinode GPM disana.
“KLASIS TIGA PULAU”.
Awalnya, jemaat-jemaat di wilayah pulau-pulau Letti, Moa dan Lakor merupakan bagian dari pelayanan Klasis GPM Pp. Terselatan yang berpusat di Wonreli. Status jemaat-jemaat di pulau-pulau Letti, Moa dan Lakor adalah Resort Klasis yang berpusat di Serwaru. dipimpin oleh Guru Jemaat J. Sopacua, kemudian diganti oleh Pdt. N.C. Tatipikalawan. Mempertimbangkan aspek geografis (rentang kendali) dan kebutuhan pelayanan, maka status Resort Klasis kemudian ditingkatkan menjadi Klasis GPM Letti-Mola-Lakor (Lemola) secara devinitif, yang peresmian pelembagaannya dilakukan tanggal 2 November 1978 oleh Pdt. E.P. Kaihena, M.Th (BPH Sinode GPM) yang berpusat di Serwaru, sekaligus melantik Pdt. N.C. Tatipikalawan sebagai Ketua Klasis I.
Pada awal pelembagaan, Klasis GPM Lemola terdiri dari 24 jemaat. Tanggal 1 Mei 1995 Jemaat GPM Sera di pulau Lakor dimekarkan, menjadi Jemaat GPM Sera dan Jemaat GPM Werwawan. Tahun 2008 Jemaat GPM Nuwewang di pulau Letti dimekarkan, menjadi Jemaat GPM Nuwewang dan Jemaat GPM Sion Nuwewang. Tahun 2009 Jemaat GPM Laitutun di pulau Letti dimekarkan menjadi Jemaat GPM Laitutun dan Jemaat GPM Yoiha. Terakhir, tahun 2015, Jemaat GPM Tiakur di pulau Moa dilembagakan, menjadi jemaat ke-28 dalam bilangan jemaat-jemaat di Klasis GPM Lemola.
Tahun 2012 terjadi pemindahan pusat pemerintahan (sementara) Kab. Maluku Barat Daya dari Kisar ke Tiakur (pulau Moa). Pemindahan pusat kabupaten itu secara koordinatif berimplikasi terhadap kedudukan pusat Klasis. Karena itu, pada tanggal 18 Mei 2015, dilakukan prosesi pemindahan pusat Klasis Lemola dari Serwaru ke Tiakur.
PERESMIAN PASTORI II JEMAAT GPM WAKARLELI.
Setiba di Tiakur, pulau Moa, tanggal 22 Maret 2019, agenda pertama dijalani keesokan harinya, 23 Maret 2019.
Jemaat GPM Wakarleli terdiri dari 253 KK dan 1.500-an jiwa, terhizab dalam 3 Sektor dan 7 Unit Pelayanan, dilayani oleh Pdt. Ny. R. Hittipeuw/L (Ketua Majelis Jemaat) dan Pdt. B. Matayane (Pendeta Jemaat) yang baru tiba di jemaat 3 (tiga) bulan lalu. Tambahan tenaga Pendeta tentu berimbas kepada perencanaan dan pembangunan hunian Pendeta bersama keluarga.
Pembangunan pastori II didasarkan pada Keputusan Sidang Jemaat GPM Wakarleli ke-13 tahun 2017. Panitia Pembangunan diketuai oleh Pnt. A.A. Tanody (Wakil Ketua Majelis Jemaat). Sedangkan tanah yang diatasnya pastori II dibangun, diberikan oleh keluarga besar Woriwun. Proses pembangunan dimulai tanggal 15 Juli 2017, dan sampai selesai menghabiskan biaya sebesar Rp. 665.870.000,- dana tersebut diperoleh dari bantuan jemaat, usaha panitia, sumbangan donatur dan bantuan Pemda MBD.
Ibadah pentahbisan dan pengresmian pastori II dipimpin oleh Pdt. A.E. Kofit (Sekretaris Klasis GPM Lemola). Sedangkan akta pentahbisan dan pengresmian dilakukan oleh Pdt. A.J.S. Werinussa (Ketua MPH Sinode GPM).
Dalam arahannya usah pentahbisan, Pdt. A.J.S. Werinussa mengajak umat dan para pelayan di Jemaat GPM Wakarleli untuk bersyukur atas kebaikan Tuhan Yesus, sekaligus berterima kasih atas kesediaan panitia bersama umat di Jemaat GPM Wakarleli untuk membangun dan memberi kepada Gereja Protestan Maluku sebuah gedung pastori yang representatif.
Pdt. A.J.S. Werinussa juga mengajak para Pendeta untuk tidak melupakan 3 (tiga) tradisi yang nyaris tersapu dari lingkungan pastori.
Pertama, pastori jemaat harus terbuka untuk siapa saja. Lebih-lebih pintu pastori dan penghuninya harus terbuka untuk umat yang datang, dan mereka (umat) tidak boleh pulang dengan tangan kosong. Paling kurang, harus ada do untuk mereka.
Kedua, di pastori, keintiman dengan Allah melalui doa harus menjadi bagian dari hidup dan aktifitas penghuni pastori. Itulah kekuatan seorang Pendeta bersama keluarga dan umat yang dilaayani. Berdoa bagi umat atas pergumulan yang dihadapi dan atas setiap harapan yang akan diperjuangkan.
Ketiga, penghuni pastori harus belajar merasakan dan mengalami “hidup susah” bersama umat. “Hidup susah” akan membuat keluarga Pendeta memiliki spiritualitas tahan uji, sederhana, dan tidak memaksakan diri untuk memperoleh sesuatu melebihi keberadaan umat, serta menjadikan anak-anak Pendeta sebagai sosok yang militan. Kemanjaan atas (gaya) hidup yang serba mapan dan nyaman di pastori akan membuat Pendeta kehilangan gairah untuk berjuang mengatasi tantangan umat.
Wakarleli adalah salah satu jemaat yang berbatasan dengan kota Tiakur sebagai pusat Kab. MBD. Walaupun berlokasi di pinggiran kota, tetapi pekerjaan pokok warga jemaat didominasi oleh petani. Tetapi sama seperti masyarakat perdesaan lainnya, beternak dan nelayan selalu menjadi pekerjaan sampingan. Pekerjaan pokok terbanyak setelah petani adalah PNS/ASN (termasuk pegawai kontrak dan honorer).
Sebagai jemaat pinggiran, pengembangan sarana ekonomi dan pemukiman masyarakat mulai merambah ke Wakarleli. Sayangnya, kesempatan ini belum disikapi secara prospektif oleh umat/masyarakat. Kehadiran warga asal Buton dan Makasar, pengusaha keturunan dan ASN mulai mengambil-alih lahan-lahan di pinggiran kota. Kenyataan ini berdampak kepada menguatnya potensi konflik kepemilikan tanah, dan berpengaruh kepada relasi antar keluarga atau marga dalam masyarakat.
Praktik jual beli tanah tak terhindari, dan merugikan masyarakat, karena harga jual yang “miring”. Pemahaman yang dangkal menyebabkan sejumlah praktik penjualan tanah menggunakan sistem barter dengan sepeda motor bekas, yang hanya dapat dipakai beberapa waktu, lalu rusak. Kalaupun tanah itu dijual dengan harga yang layak, dan uang yang diterima berjumlah puluhan juta rupiah, sebagian besar uang itu dipakai (lagi) untuk membeli sepeda motor, hanya untuk memenuhi gaya hidup. Nilai tanah yang multi efek justru tidak bermanfaat apa-apa secara ekonomis. Padahal, jika dana hasil penjualan tanah itu dipakai untuk membuka usaha, seperti membangun kos-kosan, atau membangun tempat usaha untuk disewakan, misalnya, maka manfatnya bagi pengembangan ekonomi keluarga dapat dirasakan untuk jngka waktu yang panjang, bila dikelola dengan baik.
Dari sisi penganut agama, pengambangan Tiakur sebagai pusat Kab. MBD berimbas kepada kehadiran sesama dari gereja dan agama lain. Walaupun GPM masih menjadi kelompok mayoritas, tetapi kehadiran sesama berlatar belakang gereja GSJA (13 KK), GBI (GBI Rock dan GBI Fox, 11 KK) dan Islam (15 KK) tak dapat diabaikan dalam kehidupan dan relasi sosial-kemasyarakatan dan keagamaan di Wakarleli. Data ini menegaskan bahwa Jemaat GPM Wakarleli cukup heterogen dalam hal keagamaan. Pembauran atau asimilasi dan harmonisasi hidup adalah pilihan yang tak dapat ditolak. KK dari gereja-gereja Saudara adalah para ASN yang kost di Wakarleli. Sedangkan KK yang beragama Islam adalah para migran yang berprofesi sebagai pedagang dari Sulawesi.
Kehadiran warga asal Sulawesi (suku Buton dan Makasar) kemudian melahirkan plesetan BMW (Buton-Makasar-Wakarleli), dapat dimaknai sebagai bentuk terhizabnya warga non Wakarleli atau MBD ke dalam komunitas Wakarleli. Sementara itu, upaya transformasi sosial-budaya dan ekonomi perlu ditangani secara baik. Kuatnya arus masuk masyarakat dari berbagai daerah dengan beragam kepentingan, pengaruh sosial, budaya, ekonomi dan keagamaan yang ditimbulkan, disertai “ancaman” penguasaan sektor ekonomi dan penguasaan tanah di wilayah pinggiran kota oleh kelompok “pendatang” harus disikapi secara arif oleh semua pihak. Upaya kerjasama dalam hidup bermasyarakat dan beragama adalah langkah penting untuk meminimalisir perasaan curiga, dan lain-lain.
Semoga kehadiran 2 (dua) orang Pendeta di Jemat GPM Wakarleli dapat bahu-membahu mengatasi tantangan yang muncul, dan menawarkan alternatif solusi yang konstruktif. Termasuk giat mendampingi umat/masyarakat untuk mulai merespons perkembangan yang terjadi, baik secara sosial maupun ekonomi. Termasuk tidak menjual tanah secara sembarangan, jika hanya untuk memenuhi gaya hidup.
PENAHBISAN DAN PENGRESMIAN GEDUNG BARU GEREJA “ELIORA”, JEMAAT GPM TIAKUR, SEKALIGUS PEMBUKAAN SIDANG KE-35 KLASIS GPM LEMOLA.
Perpindahan pusat pemerintahan (sementara) Kab. Maluku Barat Daya dari Kisar ke Tiakur, pulau Moa pada tanggal 26 November 2012, menjadi titik awal pergumulan bergereja di Tiakur. Tiakur – saat itu – merupakan hutan belantara; gelap gulita saat matahari tenggelam. Para ASN yang turut serta dalam proses pemindahan pusat pemerintahan itu, sebagian besar merupakan warga Gereja Protestan Maluku, yang walaupun diliputi keragu-raguan, tetapi perlu dilayani dan didampingi secara spiritual.
Adalah Pdt. E. Maanary (Ketua Klasis GPM Lemola – saat itu) berinisiatif melakukan koordinasi dengan bapak Drs. B.N. Orno (Bupati MBD) untuk menyelenggarakan ibadah Minggu di Tiakur. Permintaan itu ditanggapi dengan antusias oleh Bupati, sekaligus mengusulkan agar pendopo kediaman Bupati untuk sementara waktu dijadikan sebagai tempat ibadah Minggu. Dalam apel bersama ASN tanggal 3 Desember 2012, Bupati mengumumkan bahwa ibadah Minggu akan dilakukan tanggal 9 Desember 2012, bertempat di pendopo kediaman Bupati. Ibadah Minggu pertama di Tiakur itu dilayani oleh Pdt. E. Maanary. Selanjutnya ibadah Minggu itu dilayani secara bergiliran dengan Pdt. H. Rutumalessy (Sekretaris Klasis GPM Lemola – saat itu).
Seiring berjalannya waktu, ternyata pendopo kediaman Bupati tidak mampu menampung umat yang terus bertambah saat ibadah Minggu. Atas koordinasi pimpinan Klasis dengan bapak Chr. Kapressy, SH, M.Si., (Sekda MBD waktu itu) dan bapak A. Tetimilay (Kadis Dikpora MBD – waktu itu), ibadah Minggu kemudian dialihkan ke SMP Negeri Tiakur, tanggal 12 Mei 2013.
Di antara ASN yang berpindah itu, terdapat 17 orang Penatua dan Diaken yang melayani di Jemaat GPM Kisar. Mereka didata dan diminta untuk membantu tugas-tugas pelayanan di Tiakur. Dari 17 orang itu, hanya 4 orang yang bersedia untuk membantu pelayanan secara fungsional di Tiakur, sampai berakhir masa bakti pelayanan, tahun 2015. Mereka adalah Pnt. Semuel Wakim, Pnt. Andreas Alerbitu, Pnt. Jusup Alberthus dan Diak. Efrosina Orno. Ke-4 Penatua dan Diaken itu dibantu oleh beberapa Pendeta sebagai tenaga detaser yang ditugaskan oleh Majelis Pekerja Klasis GPM Lemola secara bergantian. Selain pimpinan Klasis yang sewaktu-waktu menyeberang dari Serwaru untuk pelayanan pada setiap hari Minggu.
Terkonsolidasinya pelayanan melalui pembentukkan unit-unit pelayanan, wadah dan organisasi pelayanan (AMGPM), disusuli pengangkatan dan pelantikan organ kepengurusan serta Pengasuh SM-TPI dan Sub-sub Komisi Pelayanan, makin melengkapi “bangunan” pelayanan di Tiakur.
Infrastruktur pelayanan juga tak luput dari perhatian. Pembangunan pastori bakal jemaat Tiakur dilakukan tanggal 15 Juli 2013. Disusul pembentukkan Panitia Pembangunan gedung gereja baru, dan peletakan batu pertama tanggal 3 Maret 2014 oleh Pdt. E. Maanary.
Dari sisi kelembagaan, dibentuk pula Panitia Pemilihan Majelis Jemaat masa bakti 2015 – 2020 dan Panitia Pelembagaan Jemaat yang diketuai oleh bapak P. Lakburlawal.
Setelah semua persyaratan dipenuhi, Jemaat GPM Tiakur diresmikan pelembaganannya secara devinitif tanggal 25 Januari 2015, berdasarkan Surat Keputusan MPH Sinode GPM, No. 01/SKEP/SND/E.2/1/2015, tanggal 25 Januari 2015, oleh Pdt. V. Untailawan, M.Th. (Sekum MPH Sinode GPM – waktu itu), sekaligus penahbisan Majelis Jemaat GPM Tiakur yang pertama, masa bakti 2015 – 2020, yang terdiri dari 16 orang Penatua dan 16 orang Diaken.
Pelembagaan jemaat, mengalirkan “darah segar” bagi penataan pelayanan di Jemaat GPM Tiakur. Karena itu, setelah bergumul selama 5 tahun 21 hari, sejak peletakan batu penjuru tanggal 3 Maret 2014, gedung gereja baru yang diberi nama “ELIORA”, Jemaat GPM Tiakur ditahbiskan dan diresmikan oleh Pdt. A.J.S. Werinussa, tanggal 24 Maret 2019 (pagi hari). Sampai selesai, pembangunan gedung gereja “Eliora” menghabiskan anggaran sebanyak Rp. 2.754.000.000, yang murni merupakan swadaya jemaat melalui usaha Panitia, subsidi gereja/jemaat, tanggungan warga jemaat, sumbangan pribadi/keluarga dan donatur. Ibadah perdana di gedung gereja baru dilayani oleh Pdt. Max Syauta. Dalam ibadah penahbisan dan pengresmian gedung gereja “Eliora” itu, sekaligus dilakukan pembukaan Siang ke-35 Klasis GPM Lemola. Turut hadir dalam ibadah dimaksud, Bupati MBD, Sekda MBD, para Asisten dan Staf Ahli bersama seluruh pimpinan Organisasi Perangkaat Daerah (OPD), pimpinan dan anggota DPRD Kab. MBD, pimpinan TNI dan Polri, Kajari MBD, tokoh adat, dan tokoh agama.
Usai ibadah penahbisan dan pengresmian gedung gereja “Eliora”, sekaligus ibadah pembukaan Sidang ke-35 Klasis GPM Lemola, Ketua MPH Sinode GPM serta Bupati MBD bersama rombongan beristirahat sejenak. Jelang sore hari, perjalanan dilanjutkan ke Jemaat GPM Moain untuk penahbisan dan pengresmian gedung baru gereja “Ebenhaezer”. Akibatnya, pelaksanaan Sidang Klasis dilanjutkan pada keesokan harinya. Di sela-sela waktu Sidang Klasis, Pdt. A.J.S. Werinussa berkesempatan melakukan evaluasi terhadap Vikaris (gelombang I, sebanyak 7 orang), dan pertemuan dengan para Pendeta se-Klasis GPM Lemola.
Dalam laporan Panitia Pembangunan Gedung Gereja Baru “Eliora”, yang dibacakan oleh bapak Daud Reimialy (Wakil Ketua), disinggung bahwa nama “ELIORA”, secara etimologis berasal dari kata bahasa Ibrani yang berarti “Tuhan adalah terangku”. Penggunaan kata ini dikaitkan dengan Mazmur Daud (Maz. 27:1). Jika nama ini dipilih dan dijadikan sebagai nama gedung gereja, maka secara teologis dan eklesiologis mengandung 2 makna sebagai berikut :
- Gereja yang mengaku Tuhan sebagai sumber kehidupan. Daud dalam Mazmur 27:1 menegaskan bahwa Tuhan adalah terang dan keselamatan. Terang adalah lambang dari hal yang positif: kasih, kepercayaan, kebaikan, sukacita, vitalitas. terang juga adalah jawaban untuk menghadapi ketakutan dan kekuatan si-jahat.
- Gereja yang mengaku sebagai alat Tuhan untuk menerangi dunia. Yesus adalah terang dunia. Yesus juga menegaskan bahwa kita, umat-Nya, adalah garam dan terang dunia. Jadi gereja yang mengaku Tuhan sebagai terang, disaat yang sama juga menyatakan komitmennya untuk menjadi alat Tuhan, menghadirkan terang bagi sesama dan lingkungan.
Sidang Klasis diikuti oleh peserta dari 28 jemaat di Klasis GPM Lemola. Persoalan yang mengemuka dalam percakapan di Sidang Klasis berkisar kepada :
- Penyiapan umat menghadapi perkembangan sosial, budaya, ekonomi, spirtual, dll sebagai akibat dari pembangunan dan daya tarik kota Tiakur dan sekitarnya sebagai magnet bagi migran dari luar daerah.
- Penyiapan umat, baik dari sisi pendidikan, skill/ketrampilan, budaya maupun spiritual menghadapi tantangan pengelolaan blok Masela, sekaligus sebagai peluang untuk meningkatkan kesejahteraan hidup.
- Peningkatan kualitas hidup umat, meliputi kualitas pendidikan, kesehatan dan ekonomi di Kab. MBD. Secara khsusus peningkatan kualitas pendidikan yang dikelola oleh YPPK Dr. J.B. Sitanala; serta peluang dan tantangannya ke depan.
- Peningkatan kualitas pelayanan dan pendampingan gereja kepada umat, di tengah tantangan multi dimensi yang dihadapi. Termasuk upaya merespons secara bijak kehadiran dan pelayaanan gereja-gereja Saudara di Klasis GPM Lemola.
Sidang Klasis ditutup secara resmi oleh Ketua MPH Sinode GPM, Pdt. A.J.S. Werinussa, tanggal 26 Maret 2019 (malam hari), usai kembali dari Jemaat GPM Werwawan.
Hingga kini, Jemaat GPM Tiakur terdiri dari 512 KK dan 1.782 jiwa, tersebar di 5 Sektor Pelayanan dan 16 Unit Pelayanan, dilayani oleh Pdt. R.M. Maail (Ketua Majelis Jemaat), Pdt. Pdt. Ny. F. Lawa/M dan Pdt. Betty Ester dan Pdt. Ny. D.O. Sambono/L (Pendeta Jemaat).
Pekerjaan warga jemaat didominasi oleh ASN (42,93%) dan pegawai kontrak/honor (40,98%). Disusul pengusaha 94,41%), swasta (3,59%) dan sisanya (8,09%) adalah petani, peternak, nelayan, dll. Tingginya profesi ASN (termasuk pegawai kontrak dan honor) karena Jemaat GPM Tiakur terbentuk dari komunitas pegawai (bersama keluarga) yang berpindah dari Kisar untuk melaksanakan tugas di Tiakur.
Selain Gereja Protestan Maluku sebagai komunitas beriman yang dominan, di Tiakur juga hadir dan berkembang gereja-gereja kharismatik seperti: Gereja Bethel Indonesia (GBI), Gereja Pentakosta, Gereja Masehi Advent Hari Ketujuh (GMAHK), Gereja Sidang Jemaat Allah (GSJA) dan Gerej Bethel Injil Sepenuh (GBIS). Kehadiran gereja-gereja yang cenderung ekspansif dengan corak teologi tertentu ini perlu disikapi secara bijak. Dibutuhkan saling pengertian untuk melayani secara bersama, tanpa menciderai satu dengan yang lain sebagai “tubuh Kristus”.
Kualitas sumberdaya manusia di Jemaat GPM Tiakur dapat dikatakan cukup baik. Data berikut menggambarkan hal itu: tamatan S2 (1,03%), S1 (28,15), D3 (10,63%), SMA/SMK (44,09%), SMP (10,15%) dan SD 5,95%).
Untuk peningkatan kualitas sumberdaya manusia di Tiakur, Pemda MBD telah membuka fasilitas pendidikan sebafai berikut: PAUD (1 unit), SD (1 unit), SMP (1 unit) SMA/SMK (2 unit) dan Program Studi Diluar Kampus Utama (PSDKU) “Kalwedo” sebagai Unit Program Belajar Jarak Jauh dari Unpatti Ambon.
Sebagai pusat pemerintahan, warga Jemaat GPM Tiakur datang dari berbagai kampung di MBD. Hanya sebagian kecil yang berasal dari luar wilayah MBD. Diprediksi, dalam beberapa tahun ke depan, angka “pendatang” dari luar wilayah MBD makin meningkat. Dengan begitu, bisa dipastikan bahwa komposisi kependudukan, aspek sosial-budaya, ekonomi dan agama di Tiakur akan mengalami pergeseran yang signifikan. Pergeseran itu harus dapat diantisipasi dengan baik, agar tidak memunculkan potensi konflik yang merugikan semua pihak. Teristimewa pada wilayah-wilayah pinggiran kota Tiakur sebagai wilayah pemukiman penduduk, seperti desa Patti, Wakarleli, Kaiwatu, dan Werwaru.
PENAHBISAN DAN PENGRESMIAN GEDUNG BARU GEREJA “EBENHAEZER”, JEMAAT GPM MOAIN.
Untuk waktu yang cukup lama, Jemaat GPM Moain beribadah di gedung gereja berdinding “palupu”(pelepah daun kelapa) dan beratap daun kelapa. Kesadaran untuk membangun suatu gedung gereja yang berbentuk permanen tentu ada di benak Majelis Jemaat bersama umat. Tetapi pergumulan umat untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari dan besarnya dana yang dibutuhkan untuk membangun suatu gedung gereja baru, merupakan pertimbangan yang tak dapat diabaikan. Namun, harapan kepada Allah yang hidup dan Sang Pemberi Berkat, membulatkan tekad Majelis Jemaat bersama umat untuk mulai mengambil langkah dan komitmen.
Pembangunan gedung baru “Ebenhaezer”, Jemaat GPM Moain berlangsung selama ± 16 tahun, setelah dilakukan peletakan batu penjuru tanggal 23 September 2003. Rupanya, komitmen saja tidak cukup. Setelah peletakan batu penjuru, proses pembangunan menjadi mandeg. Bahkan untuk waktu yang cukup lama, fondasi gereja “dibiarkan” terbengkalai. Untuk menggerakan segenap potensi umat dan proses membangun, Majelis Jemaat GPM Moain kemudian (merevisi) Surat Keputusan tentang personalia Panitia Pembangunan pada bulan Oktober 2010, dengan mempercayakan bapak P. Wonata (Ketua) dan bapak S. Topurtawi (Sekretaris). Selanjutnya pekerjaan pembangunan dimulai pada awal tahun 2011 sampai Januari 2019.
Pendanaan, menjadi (salah satu) kendala utama bagi Panitia Pembangunan bersama umat di Moain. Anggaran pembangunan yang sejak awal dirancang berada di bawah kisaran 1 milyar rupiah, pada akhirnya membengkak. Upaya Panitia secara lokal dan tanggungan umat nyaris tak mampu menjawab kebutuhan pembangunan. Dalam kondisi itu, Allah menyatakan kasih dan kemurahan-Nya melalui Pemda MBD. Bantuan Pemda MBD sebesar 50% dari (realisasi) anggaran pembangunan telah memungkinkan Panitia bersama umat dapat menyelesaikan pembangunan gedung gereja “Ebenhaezer”, sehingga dapat ditahbiskan dan diresmikan pada Minggu, 24 Maret 2019 (sore, jelang malam hari), oleh Ketua MPH Sinode GPM, Pdt. A.J.S. Werinussa, dan dihadiri oleh Bupati MBD bersama sejumlah unsur Forkopimda dan pimpinan Organisasi Perangkaat Daerah (OPD). Ibadah perdana di gedung baru gereja “Ebenhaezer” dilayani oleh Pdt. Max Syauta.
Sampai selesai, pembangunan gedung baru gereja “Ebenhaezer” menghabiskan anggaran sebanyak Rp. 1.000.000.000,-
Jika pulau Moa diibaratkan sebagai tubuh manusia, maka Moain adalah kepala atas tubuh itu. Karena itu, Moain berarti “kepala Moa”. Walaupun menempati “posisi strategis” dari tubuh pulau Moa, tetapi Moain diperhadapkan dengan kenyataan yang tidak mudah.
Moain terletak di dataran yang berbatu-batu, kebanyakan adalah batu kapur dan karang. Keadaan tanah dan iklim sangat berpengaruh terhadap hasil pertanian. Bercocok tanam tidak dapat dilakukan sepanjang waktu. Biasanya “hanya” berlangsung pada bulan Oktober (oleh masyarakat dikenal sebagai musim angin Barat), dan pada bulan April (musim angin Timur). Bila curah hujan berlebihan, dan atau panas berlebihan, dipastikan masyarakat akan mengalami gagal panen. Biasanya kekurangan bahan makanan terjadi pada bulan Oktober – November. Sayangnya, kearifan lokal masyarakat untuk menentukan musim tanam itu kini telah bergeser, antara lain karena perubahan iklim akibat pemanasan global.
Jemaat GPM Moain terdiri dari 76 KK dan 277 jiwa, tersebar di 2 Sektor Pelayanan dan 4 Unit Pelayanan, dilayani oleh Pdt. J.P. Taniwel. Pekerjaan utama warga Jemaat GPM Moain didominasi oleh petani (sekaligus sebagai peternak dan nelayan). Hasil utama kebun adalah jagung, kacang merah, singkong, labu dan umbi-umbian. Sayuran dan bawang merah hanya ditanam untuk kebutuhan konsumsi/masak sehari-hari. Sama seperti hasil tangkapan ikan. Akses jalan yang terbuka dari Tiakur sampai ke Moain memberi kesempatan kepada umat/masyarakat untuk mencoba memasarkan hasil kebun ke Tiakur. Tetapi alat transportasi menjadi persoalan lain yang belum terjembatani sampai saat ini. Komoditi peternakan seperti babi, kambing, kerbau dan kuda juga dimiliki oleh umat/masyarakat, namun dalam jumlah yang terbatas. Pola pemeliharaannya juga sangat tradisional, sebagaimana diwariskan sejak leluhur. Hanya kerbau yang memiliki prospek ekonomi yang menjanjikan, jika dijual kepada pedagang dari Sulawesi. Belakangan, transaksi jual-beli kerbau dibatasi oleh Pemda MBD, karena kekuatiran makin berkurang (dan terancam punahnya) “hewan endemik” MBD itu. Dusun kelapa hanya dimiliki oleh beberapa keluarga. Kopra yang diproduksi dijual kepada pedagang dari luar jemaat, dengan harga maksimal Rp. 3.000/kg. Profesi sebagai ASN dapat dihitung dengan jari, yakni para guru dan Sekretaris Desa. Demikian pula dengan usaha dagang berbentuk kios yang menjual kebutuhan hidup sehari-hari, hanya dimiliki oleh beberapa orang. Perkembangannya terkendala alat transportasi untuk mensuplai barang jualan. Kenyataan itu menambah suburnya praktek ijon di Jemaat GPM Moain. Gaya hidup yang cenderung konsumerisme membuat sebagian umat bergantung kepada pengijon. Umat/masyarakat sudah cukup lama terperangkap dalam sistem ijon. Apalagi jika kebutuhan biaya pendidikan anak-anak dan kebutuhan lainnya terasa mendesak, ijon merupakan jalan keluar satu-satunya. Persoalan-persoalan di atas berdampak kepada pendapatan ekonomi tiap rumah tangga di jemaat. Karena itu, kemiskinan merupakan salah satu persoalan utama di Jemaat GPM Moain. Kemiskinan di Moain tidak disebabkan oleh faktor tunggal, tetapi lebih banyak berkaitan dengan aspek struktural.
Akses pendidikan di Moain terbatas pada pendidikan dasar setingkat SD. Untuk melanjutkan ke tingkat SMP harus ke Tounwawan. Sedangkan ke SMA/SMK harus ke Weet (pusat kecamatan pulau Moa), atau ke Tiakur. Terbatasnya fasilitas pendidikan dan kemampuan setiap orang tua untuk menyekolahkan anak-anak sampai ke jenjang perguruan tinggi, menyebabkan kualitas sumberdaya manusia di Moain cukup rendah. Rata-rata tingkat pendidikan setara dengan lulusan SMP sebanyak 26 orang dan SMA/SMK sebanyak 18 orang. Tak heran, kualitas sumberdaya manusia yang cukup rendah, tentu berpengaruh kepada rendahnya tingkat pendapatan umat/masyarakat. Mata rantai ini seakan tidak mampu diputuskan oleh umat/masyarakat di Moain.
Adalah tugas gereja (bersama dengan pemerintah sebagai mitra kerja) untuk menerobosi dan mengatasi persoalan-persoalan di atas.
Fakta-fakta di atas menggambarkan betapa beratnya pergumulan yang dihadapi oleh Jemaat GPM Moain, saat mengambil keputusan untuk membangun gedung gereja yang baru. Tantangan-tantangan itu tidak membuat Jemaat GPM Moain menyerah. Ada banyak jemaat di Gereja Protestan Maluku, yang keadaannya seperti Jemaat GPM Moain. Namun, mereka tidak mau tunduk kepada kesulitan. Kita patut bersyukur, Allah selalu melimpahi Jemaat GPM Moain, dengan kebaikan, yang memungkinkan Jemaat GPM Moain dapat menyelesaikan tanggung jawab yang berat itu.
PENAHBISAN DAN PENGRESMIAN GEDUNG BARU GEREJA “BETHEL”, JEMAAT GPM WERWAWAN.
Walaupun berita Injil telah menjangkau kehidupan masyarakat di pulau Letti dan Moa jauh sebelum kedatangan Joseph Kam dalam perjalanan Pekabaran Injil ke wilayah Selatan Daya, tetapi kekristenan baru mulai tumbuh dan berkembang di pulau Lakor pada akhir abad 18. Adalah Pdt. Achkerman yang membawa berita Injil ke pulau Lakor, dan menjadikan Werwawan sebagai pusat pemberitaan. Setelah Pdt. Achkerman, tugas itu diteruskan oleh lulusan sekolah Guru yang didirikan oleh Joseph Kam (dan dilanjutkan oleh Roscott). Namun, umat di Werwawan lebih mengingat jasa Guru Injil Manduapessy, yang sejak 1817 memilih bertahan di Sera-Werwawan untuk memberitakan Injil. Jarak antara desa Sera dengan Werwawan yang cukup berdekatan (sekitar 30 menit ditempuh dengan berjalan kaki), membuat desa Sera dan Werwawan disatukan sebagai jemaat. Karena perselisihan dengan tokoh-tokoh adat yang menolak tindakan Guru Injil Manduapessy memusnahkan praktek penyembahan berhala melalui pemujaan kepada patung-patung, maka Guru Injil Manduapessy akhirnya kembali ke Ambon tahun 1841.
Atas musyawarah penduduk desa Sera dan Werwawan sebagai orang Saudara, maka pada tahun 1917 dibangun sebuah gedung gereja di antara desa Sera dengan Werwawan. Tahun 1965, timbul keinginan umat di Werwawan untuk membangun sebuah gedung gereja sendiri, sebagai akibat dari bertambahnya jumlah umat di Werwawan. Upaya ini dipelopori oleh anak negeri Werwawan, Pdt. F. Tutupasar dan Pnt. M. Palpialy, dan ditopang oleh Pdt. Serpara yang saat itu melayani di Werwawan. Keinginan itu baru diwujudkan tahun 1970, melalui peletakan batu pertama pembangunan gedung gereja, tanggal 6 September 1970. Gedung gereja baru itu ditahbiskan tanggal 30 November 1989, dan diberi nama “BETHEL”.
Penahbisan gedung gereja “Bethel” semakin mengokohkan umat di Werwawan untuk “memisahkan diri” dari kesatuan jemaat dengan Sera. Puncak penantian itu berakhir tanggal 1 Mei 1995, ketika Jemaat GPM Sera dimekarkan menjadi Jemaat GPM Sera dan Jemaat GPM Werwawan. Walaupun telah menjadi jemaat devinitif sejak 1995, dan ditetapkan sebagai pusat kecamatan pulau Lakor tahun 2013, namun dari sisi administratif pemerintahan, Werwawan (masih) merupkan dusun dari desa Letoda.
Dalam perkembangan, rupanya gereja “Bethel” yang ditahbiskan tahun 1989 itu tidak mampu lagi menampung pertumbuhan jiwa umat. Kesadaran bahwa pembangunan gedung gereja pasti akan menyita banyak hal dari umat, termasuk mengorbankan waktu, tenaga, pikiran, perasaan, dan materi. Bahkan “kehilangan” kesempatan untuk memperhatikan kepentingan pribadi dan keluarga. Tetapi dengan memandang kepada kemurahan Yesus Kristus, Sidang ke-6 Jemaat GPM Werwawan tahun 2003 bersepakat menggalang seluruh potensi umat untuk membangun gedung gereja baru. Langkah itu dimulai dengan pembentukan dan pelantikan Panitia Pembangunan pada akhir tahun 2003, menghimpun dana dan material lokal. Tanggal 9 September 2005 dilakukan peletakan batu pertama. Di sela-sela umat berkebun, mencari ikan, beternak, dll, ada waktu yang ditentukan oleh Panitia untuk bekerja di lokasi gereja baru. Karena ketiadaan dana, pekerjaan pembangunan sempat berhenti total selama 4 tahun (2010 – 2014). Tak dapat dipungkiri, penetapan Werwawan sebagai pusat kecamatan pulau Lakor dan kehadiran sejumlah ASN sebagai pegawai di kantor kecamatan, turut memberi kontribusi terhadap pendapatan jemaat, dan upaya pendanaan oleh Panitia.
Hanya oleh kasih Allah, kerja keras Panitia bersama umat dan topangan banyak pihak, gedung baru gereja “Bethel” itu dapat dirampungkan sejak akhir tahun 2018, dengan menghabiskan biaya sebanyak Rp. 477.860.600,- Penahbisan dan pengresmian gedung baru gereja “Bethel” tanggal 26 Maret 2019 oleh Pdt. A.J.S. Werinussa, dan dihadiri oleh Bupati MBD bersama sejumlah Forkopimda dan pimpinan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) adalah momentum pengucapan syukur atas kasih dan kemurahan Yesus Kristus, serta terima kasih atas pengorbanan Panitia bersama umat dalam proses pembangunan yang memakan waktu cukup panjang itu. Ibadah perdana di gedung baru gereja “Bethel” dilayani oleh Pdt. Max Syauta.
Jemaat GPM Werwawan terdiri dari 98 KK dan 364 jiwa (data 2017), tersebar di 2 Sektor dan 4 Unit Pelayanan. Sebagian besar keluarga di Werwawan memfokuskan pekerjaan sebagai petani, khususnya petani bawang merah dan peternak. Pekerjan sampingan adalah nelayan dan buruh bongkar muat di pelabuhan, saat debarkasi dan embarkasi kapal. Secara umum, komoditi yang terkenal dari pulau Lakor adalah bawang merah dan kambing Lakor (selain kerbau dan sapi). Tak berlebihan jika Jemaat GPM Werwawan mendisain mimbar gereja “Bethel” berbentuk bawang merah. Dari hasil penjualan bawang merah juga, gedung gereja “Bethel” dibangun. Pasaran bawang merah lebih banyak di tingkat lokal, berkaitan dengan stok yang tersedia. Karena tofografi tanah yang berbatu karang, maka tidak semua lahan dapat dimanfaatkan untuk bertanam bawang merah. Hanya keuletan dan kerja keras yang membuat bawang merah tumbuh subur di pulau Lakor, dan berkontribusi bagi pendapatan tiap keluarga. Kambing Lakor dan sapi biasanya dipasarkan keluar wilayah kabupaten, menjelang hari raya Idul Adha. Sedangkan kerbau biasanya dibeli oleh para pedagang dari Sulawesi.
Fasilitas pendidikan yang tersedia di Werwawan meliputi: SD (1 unit), SMP (1 unit) dan SMA (1 unit). Penetapan Werwawan sebagai pusat kecamatan membuka akses yang cukup lebar kepada anak-anak dari pulau Lakor untuk bersekolah sampai ke tingkat SMA. Sebelumnya, untuk masuk SMA, anak-anak dari pulau Lakor harus “menyeberang” ke pulau Moa. Jalan lingkar pulau Lakor sebagai sarana transportasi barang dan manusia hampir tersambung. Akses komunikasi telah merambah hampir seluruh pulau Lakor. Perkembangan-perkembangan itu seharusnya mendorong anak-anak Werwawan (dan pulau Lakor secara umum) untuk berkompetisi, tetapi tidak boleh melupakan budaya sebagai jati diri. Mengejar “mimpi” akan masa depan yang berpengharapan terbentang di depan. Tantangan pasti menghadang. Jangan mudah menyerah. Bersama Yesus Kristus, dan topangan orang tua bersama keluarga, setiap tantangan pasti dapat disibak.
Mari jaga hidop bae-bae!
Uplera Nodi Nora Ita!
Kalwedo!
***************
Sumber tulisan :
- Renstra Klasis GPM Lemola, Tahun 2015 – 2020.
- Renstra Jemaat GPM Wakarleli, Tahun 2015 – 2020, dan Laporan Panitia Pembangunan Pastori.
- Renstra Jemaat GPM Tiakur, Tahun 2015 – 2020, dan Laporan Panitia Pembangunan Gedung Gereja “Eliora”.
- Renstra Jemaat GPM Moain, Tahun 2015 – 2020, dan Laporan Panitia Pembangunan Gereja “Ebenhaezer”.
- Renstra Jemaat GPM Werwawan, Tahun 2015 – 2020, dan Laporan Panitia Pembangunan Gereja “Bethel”.
Tulisan
(Pdt. Max Syauta).
Tiakur/Ambon, 24 – 28 Maret 2019.