Kairatu, sinodegpm.org,- Bertambahnya jumlah warga jemaat dan daya tampung gedung gereja yang terbatas, adalah pertimbangan dibalik setiap perencanaan untuk membangun gedung gereja yang baru. Demikian halnya dengan Jemaat GPM Hukuanakota.
Proses pembangunan itu memperoleh momentum bersejarah saat peletakan batu pertama dan pembuatan fondasi, tanggal 19 Januari 2009, saat jemaat dipimpin oleh Pdt. Ny. M. Tuhuleruw sebagai Ketua Majelis Jemaat. Sayang, semangat jemaat yang besar, tidak diimbangi dengan ketersediaan anggaran yang cukup. Alhasil pekerjaan itu terhenti. Peralihan kepemimpinan jemaat kepada Pdt. H. Utra tahun 2014, pekerjaan pembangunan itu kembali dilanjutkan, tetapi hanya sampai pada tahap pengecoran slop [fondasi]. Saat peralihan kepemimpinan jemaat kepada Pdt. W.J. Hehakaya [2016], praktis proses pembangunan telah mandeg selama hampir 7 tahun. Tidak heran jika muncul rasa pesimisme dalam diri warga jemaat mewarnai pekerjaan pelayanan Pdt. W.J. Hehakaya sejak awal. Apalagi profil fisiknya yang sama sekali bertolak belakang dengan gambaran dan idealisme umat tentang seorang Pendeta.
Pesimisme umat, tantangan pembiayaan, transportasi barang/material dan jumlah tenaga kerja [produktif] asal jemaat yang sedikit sama sekali tidak menyurutkan semangat Majelis Jemaat dan Panitia Pembangunan untuk melangkah. Upaya dana dilakukan secara simultan yang dikoorninir oleh Pdt. W.J. Hehakaya, sambil berkoordinasi dengan sejumlah pihak untuk memperoleh bantuan tenaga kerja. Baik di Ambon, Masohi dan Lease. Langkah-langkah itu perlahan-lahan diapresiasi oleh warga jemaat.
Mobilisasi material bangunan [semen, besi, dll] dipikul oleh warga jemaat dari Hunitetu menuju Hukuanakota menempuh jarak 8 km. Pada saat yag sama, sejumlah protes dilayangkan kepada pemerintah daerah karena akses jalan yang belum terbuka. Bagaikan gayung bersambut, protes itu didukung oleh kalangan yang lebih luas, baik melalui media sosial maupun media cetak. Sejumlah kasus tentang penderitaan masyarakat di wilayah pegunungan kecamatan Inamosol menguak ke permukaan. Sepanjang pertengahan tahun 2017-2019 tekanan karena kelanjutan pekerjaan dilalui dengan tertatih-tatih. Tetapi kabar baik datang kemudian. Jalan dari Hunitetu ke Hukuanakota kemudian dirintas/dibuka [2018]. Tetapi tidak mudah dilalui saat hujan karena longsor dan berlumpur. Mobil atau motor yang memobilisasi material sering tertanam dalam lumpur. Warga jemaat selalu siap sedia untuk menarik/mendorong mobil keluar dari kubangan lumpur. Tak heran, kelancaran proses pembangunan baru terjadi pada 2 tahun terakhir [2018-2019].
Syukur kepada Yesus Kristus. Penantian panjang disertai kerja keras itu akhirnya berbuah sukacita. Rabu, 22 Januari 2020, gedung gereja yang diberi nama "BATOI", Jemaat GPM Hukuanakota itu akhirnya diresmikan dan ditahbiskan oleh Ketua MPH Sinode GPM, Pdt. Athes J.S. Werinussa. Hingga selesai, pembangunan gedung gereja "BATOI" menelan anggaran sebesar Rp. 1,4M.
Kata "BATOI" [dari rumpun bahasa Alune] berarti pertambahan, perkembangan atau kelimpahan. Allah yang penuh kasih memang menganugerahkan tanah yang subur dan hasil hutan yang melimpah kepada negeri-negeri di pulau Seram, baik di wilayah pesisir maupun di pegunungan. Damar adalah salah satu hasil hutan yang melimpah di Hukuanakota. Getah damar yang meleleh, adalah tanda dari kasih Allah yang tak berkesudahan; hari demi hari.
Damar menjadi primadona pendapatan umat, selain cengkih. Termasuk untuk membiayai pembangunan gedung gereja baru. Tidak berlebihan jika mimbar gereja "BATOI" mengambil bentuk pohon damar.
Turut hadir dalam acara pengresmian dan penahbisan gedung gereja "BATOI" adalah Bupati dan Wakil Bupati Kab. SBB bersama sejumlah pimpinan Organisasi Perangkat Daerah [OPD], sejumlah basudara pela dari Tihulale dan anak-anak negeri Hukuanakota di rantau. Kehadiran Bupati dalam moment tersebut memang sangat diharapkan. Supaya Bupati SBB dapat melihat sendiri kondisi jalan di kecamatan Inamosol dan keberadaan aparatur pemerintah disana, khususnya aparatur pemerintah desa yang nyaris tidak berada di tempat.
Perlahan tapi pasti, negeri-negeri di wilayah pegunungan mulai membenahi diri, dengan makin terbukanya akses jalan, transportasi, komunikasi, pendidikan dan kesehatan. Semoga kearifan lokal masyarakat sebagai kekayaan tak bendawi dan lingkungan alam tetap terjaga kelestariannya.
Hukuanakota-Tanah Tinggi, 22 Januari 2019.
[Pdt. Max Syauta]