MARTHA DAN MARIA
Sebuah Puisi Refleksi
Oleh Eko Saputra Poceratu
Kuli-kuli kaki ibu bajalang di atas kuli-kuli tanah Abubu, langkah masih subuh, basah ikang dalam bubu. Mata lia hari-hari, badang tikam matahari, dalang sarang ada niri, dalang karang ada duri.
Melihat seratus ribu burung kasturi terbang di atas pohon kenari, seperti melihat seratus ribu uang kertas tersangkut di selangkangan, menebang harga diri. Melihat sejuta pohon pulaka tumbuh di hutan-hutan, seperti melihat sejuta rupiah merenggut perawan di penginapan-penginapan. Manusia-manusia yang perlu rawat inap sekaligus perawatnya, tak lebih dari orang sakit jiwa yang sehat napsunya.
Martha putus kepala serdadu belanda, Welmina sambung tur di Belanda, Maria makan nakabelanda, Margaretha main nakal di Belanda. Yakomina belajar huruf di beranda tali, Andalina masih buta huruf di dapur, Batseba hafal rumus di kali pamali, Yohana kurang tahu mana kapur.
Memandang seribu ayam di dalam kandang, seumpama memandang seribu perempuan tanpa sudut pandang. Bunga cengkeh tumbuh di hutan, dijaga orang utan tanpa membayar polisi hutan.Bunga dada tumbuh di kutang, dipetik undang-undang lalu dihanyutkan dalam sidang.
Memandang sepuluh ribu gadihu di balik pagar, seumpama memandang sepuluh ribu remaja di dalam layar, yang dilahirkan dan dibesarkan oleh sistem, aplikasi tanpa edukasi, edukasi tanpa implikasi, linimasa tanpa masa, dinding fesbuk tanpa lubuk, share status tanpa status, punya kenangan cuma di tayangan, punya kasih saying cuma di inbox, punya teman cuma di whattsap, punya dunia tapi butuh paket, punya prestasi sebatas rating, punya pengetahuan sebatas google, punya pendirian sebatas kiriman, punya nyawa sebatas online, punya kenyataan semacam pernyataan.
Martha pegang tombak, Maria pegang i-phone, Martha bunuh penjajah, Maria bunuh telepon. Martha berkorban nyawa, Maria berkorban pulsa, Martha cita-citakan merdeka, Maria cita-citakan Mardika.
Menyaksikan sekian juta cakalang di Laut Seram, seperti menyaksikan sekian juta perempuan karam di kasur malam. Menyaksikan sekian juta perempuan diperkosa, menyaksikan sekian juta anak-anak sekolah berjalan berkilo-kilo jauhnya sampai hosa, hanya untuk belajar bahasa Indonesia tanpa sandal di kaki mereka.Pendidikan tanpa didikan, pelajaran tanpa ajaran ialah pemberian tanpa gunanya.
Martha angkat senjata, Maria angkat telepon. Martha menembak penjajah, Maria ditembak percintaan, penjajahan paling bajingan yang memenjarakan perempuan dalam budaya payah yang adidaya.
Martha pukul tentara, Maria dipukul suami.Martha membela kaum tertindas, Maria ditintas suami.Martha menjaga tanah pribumi, Maria dipukul rubuh ke bumi.Perempuan-perempuan berperang melawan peluru-peluru yang mereka bikin sendiri di dalam hati.
Matha mati di Banda, Maria tak mau mati sebelum ke Banda. Aroma pala, menyusup ke dalam rumah yang adalah kapal-kapal berasap dengan dapurnya. Bunga pala tumbuh di telinga gadis-gadis, digugurkan angin laki-laki sadis. Buah pala tumbuh menjadi bibir nona-nona, dimakan bibir yang laki-laki laknat. Ciuman-ciuman adalah granat, meledakkan rumah tua yang amat keramat, maka kiamat.
Tetapi aku tetap percaya, ombak-ombak bijiruku di Banda adalah rambut dari Marthaku yang tersayang. Aku tetap percaya, ombak-ombak itu adalah tombak Marthaku yang tersayang. Jadi mari berlayar perempuan, lautan adalah milik kalian.
Maka sebelum rembulan jadi bulan-bulan di kalender, aku melihat perempuan-perempuan tangguh bertarung memperjuangkan gender. Dan sebelum tahun-tahun menjadi ulang tahun setiap manusia, kulihat perempuan-perempuan kuat masih kuat melawan penindasan.
Perempuan adalah Martha – Martha adalah perempuan, dia sudah tidak pernah kalah, maka kalian harus melawan!
Ambon, 4 Januari 2019
Apa yang kalian pikirkan dan bayangkan seusai membacakan puisi ini sobat TOM? Apakah kalian merasakan kengerian, pergolakan batin, emosi atau kalian merasa menjadi bagian dalam puisi? Itu akan dijawab oleh sobat secara pribadi.
Puisi ini sesungguhnya mewakili banyak persoalan, terkhusus yang dialami oleh perempuan, di dunia, di Indonesia dan secara khusus di Maluku. Dengan mengetik “kekerasan perempuan” di google dan sekali menekan enter kalian menemukan ratusan ribu kasus kekerasan dan perbudakan perempuan di seluruh dunia. Kalian bahkan menemukan beraneka macam kasus, seperti misalnya pemerkosaan, penyiksaan, pembunuhan, perdagangan perempuan, perempuan sebagai budak seks perang dan lain sebagainya.
Di Indonesia sendiri, perempuan menjadi komoditas seks yang laris. Di wilayah timur sendiri, seperti Papua dan Maluku memiliki kisah pekerja seksnya masing-masing. Kehadiran mereka turut berkontribusi pada meningkatnya pengidap HIV/AIDS.
Lantas kalian akan bertanya, apakah perbudakan, kekerasan terhadap perempuan banyak terjadi di Maluku?
Selain data yang bisa kalian temui di berbagai situs, media cetak, televisi, coba kalian perhatikan lingkungan sekitar. Apakah kalian melihat adanya kekerasan terhadap perempuan? Ada banyak kasus orang tua menghamili anak kandung. Ada kasus dosen menghamili mahasiswa. Tentu kalian bisa menilai sendiri. Apakah kalian melihat begitu banyak remaja dan pemuda seusia kalian tergila-gila dengan tiktok bahkan sampai melepas baju, menggoyang pantat dan lidah seolah telah kehilangan harga diri? Tentu kalian bisa menilai sendiri, perbudakan macam apa itu.
Ada banyak sekali bukan? Setelah menyimak puisi dan tulisan ini, cobalah menemukan lebih banyak lagi kasus dan cari tahu latar belakangnya. Kalian mesti kritis untuk melihat kehidupan sekitar dan berusaha menemukan solusinya. Semoga tulisan ini bisa menggelisahkan dan menggerakan kalian semua sobat TOM.
Selamat memperingati Hari Perdagangan Budak dan Penghapusannya.
Berikut link puisi, yang bisa kalian tonton: