Dalam rangka memperingati Hari Masyarakat Adat Internasional yang jatuh pada tanggal 9 Agustus lalu, Tapalang Orang Muda akan memperkenalkan sobat TOMerz semua dengan masyarakat adat dari salah satu suku yang di Nusa Ina (Pulau Seram).
Sekitar satu tahun yang lalu, banyak portal-portal berita baik melalui media elektronik, media cetak maupun media online memberitakan peristiwa kelaparan yang menimpa warga Suku Mausu Ane, salah satu suku tertua di Seram Utara. Pemberitaan-pemberitaan itu banyak yang menyebutkan bahwa penyebab terjadinya peristiwa kelaparan adalah karena hidup masyarakat suku Mausu Ane ini berpindah-pindah dan tidap menetap yang mengakibatkan pasokan makanan kurang dan membuat daya tahan tubuh mereka berkurang sehingga kekurangan gizi (kitabisa.com) namun ada juga yang memberitakan bahwa penyebab terjadinya peristiwa kelaparan tersebut adalah karena krisis pangan yang diakibatkan oleh hama babi dan tikus (m.merdeka.com). Peristiwa kelaparan inilah yag kemudian membawa perhatian yang begitu banyak dari berbagai kalangan baik pemerintah, TNI maupun swasta.
Gambar : Masyarakat Suku Mausu Ane (oleh Pdt. George Likumahwa, S.Sos)
Siapakah orang-orang Suku Mausu Ane ini?
Menurut tuturan Pdt. Diana Samalelaway (Ketua Majelis Jemaat Siahari), berdasarkan sejarah lisan yang beredar di masyarakat, suku Mausu Ane adalah masyarakat adat asli dari Negeri Maneo yang berada di Seram Utara. Suku Mausu Ane yang awalnya bernama suku Ausu Ane ini merupakan kumpulan orang-orang yang berjalan dari dunia lama (Binaya & Murkele) untuk mencari dan menemukan dunia baru. Dalam perjalanan itu, sebagian dari mereka kemudian singgah di dan bermukim di Maneo, sedangkan yang lainnya terus berjalan dan kemudian memilih bermukim di Gunung Lukalise dan Yamalisa. Menurut kepercayaan mereka, berjalan keluar dari dunia lama menuju dunia baru lantas tidak menghilangkan peradaban mereka yang lama. Itu berarti bahwa tatanan adat istiadat, nilai-nilai, simbol, dan cara hidup yang menjadi kesepakatan bersama dalam suku ini tidak serta merta berubah.
Suku Mausu Ane dulunya hidup secara nomaden atau berpindah-pindah di dalam rimbunnya hutan, sehingga mereka hampir tidak memiliki sebuah tempat tinggal yang permanen, namun kemudian mereka belajar berkebun dan menetap di satu lokasi. Alam menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari kehidupan mereka. Banyak elemen alam yang dijadikan sebagai simbol-simbol yang memiliki nilai dan makna tersendiri bagi mereka. Cara hidup seperti ini membuat mereka dianggap oleh sebagian orang sebagai suku terasing. Mereka dianggap sebagai orang-orang yang jauh dari sentuhan berbagai perkembangan yang terjadi di banyak tempat. Modernisasi menjadi hal yang terkesan masih baru bagi kehidupan mereka.
Pengadaan rumah permanen di daerah Tuhuhu yang diupayakan oleh Dinas Sosial Provinsi Maluku yang bekerja sama dengan TNI dan membuat semacam area relokasi, sebenarnya merupakan satu dari sekian upaya yang cukup baik dalam menanggapi bencana kelaparan di suku Mausu Ane. Selain agar mereka mempunyai lokasi bermukim yang tetap, tetapi juga agar kesehatan mereka lebih terjaga dengan baik. Akan tetapi, upaya ini kemudian membuat masyarakat suku Mausu Ane terkesan akan semakin jauh dari peradaban mereka sebelumnya.
Rumah yang dibangun oleh Dinas Sosial dan TNI tidak lagi berbentuk panggung dan berada di tengah hutan, melainkan rumah yang bersentuhan langsung dengan tanah. Tidak lagi menggunakan atap yang dianyam sendiri oleh mereka, melainkan menggunakan zenk. Hal ini dirasa sangat jauh dari cara hidup mereka, karena ketika mereka hidup dan beraktivitas di alam, itu berarti ada sebuah integritas antara suku Mausu Ane juga alam dan kehidupan yang mereka jalani. Tidak hanya bersatu dengan alam, tetapi cara hidup mereka mengandung banyak sekali nilai-nilai dari para leluhur yang selama ini mereka hidupi dan mempunyai makna tersendiri bagi mereka.
Bertolak dari gambaran tentang kehidupan masyarakat suku Mausu Ane di atas, sebenarnya bencana kelaparan tidak harus menjadi alasan untuk merelokasi keberadaan mereka. Upaya relokasi yang dilakukan dapat dikatakan sebagai sebuah upaya pengikisan budaya dan adat istiadat juga nilai-nilai yang telah dihidupi oleh masyarakat adat. Hal ini harusnya tidak hanya menjadi perhatian pemerintah, melainkan menjadi PR bersama sebagai gereja dan masyarakat yang juga hidup dalam tatanan adat-istiadat.
Jadi, menurut TOMerz, apakah suku Mausu Ane masih merupakan “suku terasing” yang sangat jauh dari kehidupan kita? Ataukah “suku terasing” hanyalah sebuah istilah, lebih tepatnya sebagai akibat pelabelan yang dilakukan oleh kita sebagai orang-orang yang hidup di dunia yang tidak lagi baru, yang serba instan dan yang semakin berkembang ini yang kemudian menjadi penentu standar hidup mereka?